Makam Sultan Malik Al Shalih Salah Satu Cagar Budaya Aceh Utara |
Cagar Budaya Sebagai Salah Satu Objek Wisata Religi Di Kabupaten Aceh Utara (Makam Sultan Malik As-Shalih Dan Ratu Nahrasiyah)
Asmanidar
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Indonesia
ABSTRACT
Cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang penting
artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah,ilmu pengetahuan dan kebudayaan
sehingga peninggalan-peninggalan masa lalu harus dilindungi keberadaannya agar
nilai yang terkandung di dalamnya dapat dirasakan oleh generasi selanjutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali pemanfaatan cagar budaya sebagai objek
pariwisata religi di kabupaten Aceh utara pada makam Sultan Malik As-Shalih dan
Ratu Nahrasiyah. Metode penalaran (induksi
analitik) yang berpegang pada data di lapangan dengan menggunakan teknik
observasi, wawancara dan dokumentasi maupun publikasi digunakan untuk
mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa situs cagar budaya (makam
Sultan Malik As-Shalih dan Ratu Nahrasiyah)tidak hanya dijadikan sebagai objek
wisata religi oleh masyarakat Aceh itu sendiri bahkan masyarakat di luar Aceh,
serta wasatawan Mancanegara. Situs tersebut juga dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai tempat melepaskan nazar (peulheuh ka-oe), memulai tarekat
(tueng-Tarekat), memulai pengajian (peuphon beut), mencari asal muasal sejarah
masuknya Islam di Asia Tenggara. Selain itu,
situs ini dapat juga mendatangkan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat
setempat. Penelitian ini mengimplikasikan bahwa situs ini sangat bernilai
tinggi bagi masyarakat dan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga diharapkan kepada semua pihak agar
terus menjaga kelestarian situs tersebut sampai kapanpun.
KEYWORDS
cagar budaya; wisata religi; makam sultan malik as-shalih; makam ratu nahrasiyah
PENDAHULUAN
Provinsi Aceh dikenal dengan julukan Serambi Mekkah (The Veranda of Mecca). Beberepa kerajaan
besar Islam telah menapaki di kawasan ini seperti Kerajaan
Islam Lambri (Lamuri) di Krueng Raya, Kerajaan Gayo Alas di daratan
tinggi Gayo, Kerajaan Daya di Lamno, Kerajaan Perlak di Aceh Timur, Kerajaan
Fansur (Barus), Kerajaan
Basman(Pasai) dan Kerajaan Samara (Samudera) di Aceh Utara, Kerajaan Pedir di
Pidie, dan Kerajaan Aceh Darussalam beribukota di Banda Aceh (Zainuddin, 1961).
Kehadiran kerajaan-kerajaan tersebut telah meninggalkan
berbagai macam warisan cagar budaya berupa Mesjid, benteng, makam-makam, taman
ratu dan lain-lain. Hingga saat ini sebagian situs-situs cagar budaya tersebut
dijadikan sebagai tempat wisata religi oleh masyarakat Aceh dan wisatawan, baik
wisatawan lokal maupun wisatawan Manca negara.
Situs cagar budaya, terutama makam sangat memiliki nilai
religiusitas yang tinggi dalam masyarakat Aceh, terutama makam-makam ulama atau syaikh yang
dianggap karamah. Banyak sekali makam-makam ulama dapat dijumpai
di berbagai kawasan di negeri ini, terutama di Kabupaten Aceh Utara.
Ribuan situs makam bisa ditemukan di kawasan Aceh Utara, khususnya di desa
Beringin dan Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, seperti dua komplek makam yang
sangat terkenal, yaitu komplek makam Sultan Malik As-Shalih dan komplek makam
Ratu Nahrasiyah (Hasan Muarif Ambari, 1996).
Keberadaan zona cagar budaya makam-makan tersebut seharusnya
dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh siapa saja dengan berbagai
tujuanpositif seperti tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan religi.
Pemanfaatan ini harus dilakukan dengan izin pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan peringkat cagar budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang
memiliki dan/atau menguasainya (UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011
tentang Cagar Budaya). Selain pemanfaatan yang termaktub dalam undang-undang,
situs cagar budaya sebenarnya juga dapat dijadikan untuk menghasilkan ekonomi
yang tujuannya untuk perawatan cagar budaya itu sendiri, bahkan untuk
pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sejauh tidak mengekpoitasi cagar
budaya tersebut.
Tulisan ini ingin mengkaji pemanfaatan-pemanfaatan dua
makam terkenal di Kabupaten Aceh Utara, yaitu makam Sultan Malik As-Shalih dan
makam Ratu Nahrasiyah oleh wisatawan sebagai objek wisata religi dengan
berbagai macam tujuan dan kepentingan.
OBJEK WISATA RELIGI
Cagar budaya
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 11.
Tahun 2010 bahwa cagar budaya
bermakna kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku manusia
yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola
secara tepat melalui
perlindungan, pengemnbangan dan pemanfaaatan dalam rangka
memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dalam undang-undang juga dijelaskan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya
yang bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya,
struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat
dan/atau di air.
Melihat dari pemaknaan cagar budaya tersebut, maka makam
tertentu termasuk salah satu bangunan yang menjadi cagar budaya. Di Aceh banyak
sekali bertebaran makam-makam yang menjadi situs cagar budaya, khususnya di
Kabupaten Aceh Utara. Diantara situs makam yang bersejarah dan menjadi situs
cagar budaya adalah; makam Sultan
Malik As-Shalih, makam Ratu Nahrasiyah, Makam Ratu Dannir (Ratu Nurul A’la),
makam Sayyid Syarif, makam Teungku Syarif,
Makam Sultan Sidi Abdullah, dan Makam Maulana Abdurrahman Al-Fasi (Zainuddin, 1961).
Makam- makam tersebut sering kali dijadikan sebagai
tempat kunjungan wisata religi, sebagai tempat untuk menggali
ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Ini sesuai dengan pasal 19 ayat (1) dan
(2) UU No. 5 Tahun 1992 bahwa benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kemudian
dalam pasal 19 (1) dan
(2) UU No. 10. Tahun 2011 juga menyatakan hal yang sama
“Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama,
sosial, dan pariwisata”.
Makam Sultan Malik As-Shalih
Makam Sultan Malik As-Shalih berada
dalam kompleks makam di Desa Beringin, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh
Utara, yakni sebuah daerah yang disebut Blang Mee yang diyakini merupakan
lokasi istana kerajaan Samudera. Sepasang nisan makam Sultan Malik As-Shalih
berbentuk segi empat pipih bersayap
dengan bagian puncak berupa mahkota bersusun dua. Tipe ini populer pada sekitar
abad ke XIV M. Pada badan nisan terdapat masing-masing tiga panil disisi depan
dan belakang yang berpahatkan kaligrafi Arab. Pada bagian puncak juga terdapat bingkai oval yang
berpahatkan kaligrafi Arab. Secara keseluruhan inskripsi tersebut dapat diartikan
sebagai “inilah kubur almarhum
yang diampuni yang Taqwa, yang menjadi
penasehat, yang dicintai,
yang berketurunan mulia, penyantun sebagai sultan pertama
yang bergelar dengan sultan Malik As-Shalih Al- Fakih, wafat pada bulan Ramadhan tahun 697 H atau 1297 M” (Dyah Hidayati,
2010).
Juga inskripsi nisan beliau yang lainnya berisi bait-bait sayair yang maknanya:” Dunia
ini fana, tiada kekal.
Dunia ini hanyalah ibarat sarang yang
dirajut laba-laba. Sungguh, memadailah dunia ini, bagimu wahai pencarinya, secukup makanmu. Betapa singkat umur ini, dan segala sesuatu
yang di dalamnya pasti mati”.
Sultan Malik As-Shalih adalah salah seorang tokoh
terpenting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara. Sebagaimana makna gelarnya
yaitu raja yang shalih, ia ternyata seorang yang berkepribadian agung, dan pantas menjadi seorang sultan yang besar,
berpengaruh dan inspiratif. Beliau
adalah seorang yang bertakwa (at-taqiy)
lagi gemar menasehati (an-nashih).
Beliau berasal dari keturunan dari orang-orang terhormat dan terkenal (al-hasib an-nasib), ia juga berperilaku
mulia dan penyantun (al-karim).
Beliau dikenal seorang yang kuat ibadahnya kepada Allah (al-‘abid) sekaligus juga pembebas (al-fatih) (Zainuddin, 1961; M. Said, 1961).
Makam Ratu Nahrasiyah
Makam Ratu Nahrasiyah
terletak di Desa Meunasah Kuta Krueng Kecamatan Samudera. Pada makam ratu ini termuat
silsilah raja-raja Samudera
Pasai. Makam beliau merupakan makam muslim terindah
di Asia Tenggara,
sehingga membuat kagum seorang
Belanda G. L. Tichelman yang kemudian membuat kajian tentang
beliau pada tahun 1940. Makam sultanah Nahrasiyah memiliki jirat yang
tinggi bersatu dengan bagian
nisan, keseluruhannya terbuat
dari pualam yang langsung
didatangkan dari gujarat, berpahatkan kaligrafi
Arab yang bermakna “inilah makam yang bercahaya, yang suci, ratu yang agung yang diampuni. Almarhumah Nahrasiyah yang
digelar dari bangsa Khadiyu anak sultan Haidar bin Said anak sultan Zainal Abidin anak sultan Ahmad anak sultan Muhammad
bin Malik As-Shalih, atas mereka rahmat dan keampunan, mangkat
pada hari Senin 17 Zulhijjah
Tahun 832 H atau 1428 Masehi” (Dahlia,
2004).
Ratu Nahrasiyah merupakan salah seorang ratu Pasai
keturunan Malik As-Shalih. Beliau dikenal sebagaiMalikah Muazzamah
(ratu yang dipertuan
agung). Epitaf pada makamnya menyebutkan bahwa ia digelar dengan Ra-Baghsa Khadiyu(sebuah gelar yang
kata-katanya tampak berakar dari bangsa Persia, bermakna “Penguasa yang
Pemurah”. Sebuah legenda mengaitkan Nahrasiyah dengan kisah dramatis seorang
tokoh disebut Raja Bakoi (Ahmad Permadala/Permala). Kisah tersebut hingga kini
hanya tampak sebagai imajinasi belaka dan tidak ditemukan sandaran historis
yang jelas terhadap legenda ini (Dahlia, 2004; Zainuddin, 1961).
METODE PENELITIAN
Metode penalaran (induksi
analitis) digunakan dalam penelitian ini. Metode ini berpegang pada data
lapangan (Brennan, 1997: 13-14; Endraswara, 2003: 31-32). Analisis secara
induktif digunakan karena; pertama, proses
induktif dapat menemukan kenyataan jamak dalam data, kedua, analisis induktif dapat membuat hubungan peneliti responden
menjadi eksplisit dan saling mengenal; ketiga,
dapat menguraikan latar secara penuh, dan keempat,
analisis ini dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit (Moleong,
2004: 10).
Metode penalaran digunakan karena hasil laporan
penelitian adalah uraian tentang pemanfaatan, potensi-potensi sumber daya
budaya dan alternatif pemanfaatan lokasi cagar budaya yang ada di sekitar
masyarakat. Data diperoleh dari hasil observasi yaitu catatan lapangan,
wawancara, dokumentasi atau publikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa situs cagar budaya
berupa bangunan makam Sultan Malik As-Shalih yang terletak di desa beringin,
kecamatan Samudra dan Makam Ratu Nahrasiyah yang terletak di desa kuta Krueng, Kecamatan
Samudera
juga dimanfaatkan oleh pengunjung sebagai objek wisata
religi, tempat melepaskan nazar (peulheuh ka-oe), memulai
tarekat (tueng-Tarekat), memulai pengajian
(peuphon beut), mencari asal muasal sejarah
masuknya Islam di Asia Tenggara. Selain itu situs ini dapat juga
mendatangkan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat setempat.
Berdasarkan penjelasan penjaga makam, bahwa para
pengunjung makam tidak hanya berasal
dari Aceh saja namun pengunjung juga berasal dari luar Aceh bahkan sampai
Mancanegara, seperti Malaysia, Thailand, Brunai Darussalam, Singapore, Jepang,
Afrika, Australia, Turkey, Marokko, dan masih banyak dari negara-negara lain.
Selanjutnya situs makam –makam ini, juga dimanfaatkan
oleh pengunjung, terutama masyarakat
Aceh sebagai tempat melepaskan Nazar (Peulhueh
Ka-oe). Dalam ajaran Islam nazar adalah mewajibkan diri untuk melaksanakan suatu qurbah (ibadah)
yang bukan fardhu ‘ain dengan sighat tertentu (Mochtar Effendy, 2001). Tradisi
masyarakat Aceh adalah bernazar jika sangat menginginkan sesuatu, seperti
menginginkan kehadiran seorang anak setelah sekian lama menikah, mengharapkan
kesembuhan dari penyakit yang akut, menginginkan kesuksesan dalam karier dan
pendidikan. Biasanya mereka bernazar ke makam-makam ulama atau syaikh yang
mereka anggap karamah. Termasuk makam Sultan Malik As- Shalih dan makam Ratu
Nahrasiyah.
Kedua situs makam tersebut juga dimanfaatkan sebagai
memulai tarekat (Tueng Tarekat).
Dalam Islam kata tarekat ituberasal dari bahasa Arab thariqah, yang bermakna jalan, keadaan, aliran, atau garis pada
sesuatu. (Luis Makluf: 1986). Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh
seseorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah (Harun
Nasution, 1986; M. Solihin dan Rosihon
Anwar, 2011). Masyarakat Aceh yang ingin memulai tarekat, biasanya berwasilah
kepada syaikh-syaikh tarekat tertentu seperti tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Khalwatiyah,
tarekat Qadariyah, tarekat Syattariyah, dan tarekat Haddadiyah.
Ulama keramat seperti Malik As-Shalih dan Ratu Nahrasiyah dianggap
mengikuti/mengamalkan tarekat tertentu, sehingga masyarakat yang hendak
mengamalkan tarekat datang ke makam mereka untuk berwasilah tarekat.
Tujuan lainnya pengunjung datang
ke makam Malik
As-Shalih dan makam Ratu
Nahrasiyah adalah untuk peuphon beut Qur’an
(memulai baca Al-Quran). Tradisi ini dilakukan oleh para pemula
atau kanak-kanak yang memulai belajar
Al-Quran. Mereka dipandu oleh guru ngajinya atau orang tuanya sendiri.
Umumnya adat peuphon beut diawali
denganpeusijuk (tepung tawar) santri,
dilakukan dengan membawa beureuteuh (pop corn), pisang, dan bulukat (nasi ketan) dengan tumpoe(kue yang terbuat dari campuran
pisang dan tepung). Kemudian seusai prosesi adat peusijuk, makanan tersebut dibagi-bagikan kepada santri-santri lain
yang ikut acara adat.
Situs makam Sultan Malik As- Shalihdan makam Ratu
Nahrasiyah dimanfaatkan juga oleh para wisatawan sebagai tempat kajian sejarah
asal mula masuknya Islam di Asia Tenggara. Berdasarkan dokumentasi yang ada bahwa segaian besar
pengunjung Mancanegara yang datang ke situs makam–makam ini bertujuan untuk
menambah wawasan tentang sejarah masuknya Islam di Asia Tenggara. Selain pengunjung dari Manca negara, para
mahasiswa, pelajar, dosen, peneliti, serta
para peminat sejarah, juga memanfaatkan ke dua situs makam tersebut untuk
keperluan pengembangan wawasan keislaman mereka tentang sejarah Islam di
Samudra Pasai dan Asia Tenggara.
Bahkan di kawasan Aceh pula didirikan satu monumen yang
bernama MONISA (Monumen Islam Asia Tenggara) untuk mengenang kembali bahwa
sejarah Islam Asia Tenggaraawal mula berasal dari sini. Monumen ini adalah
hasil dari seminar internasional ilmiah untuk membedah sejarah Islam pada tahun
1980 yang diadakan di Kuala Simpang
(Aceh Timur).
Selain itu, keberadaan situs makam-makam tersebut juga
berdampak pada pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan observasi,
banyak ditemukan masyarakat yang berjualan pada hari-hari tertentu, dimana para
pengunjung banyak berdatangan ke tempat tersebut seperti hari Senin, Kamis dan
Minggu. Kebanyakan mereka menjual makanan, minuman, dan juga menjual sauvenir
dan buku-buku, khususnya buku sejarah Kerajaan Pase.
KESIMPULAN
Sultan Malik As-Shalih adalah seorang pionir masuknya
Islam pertama di Samudra Pasai. Sebagaimana gelarnya, beliau ternyata seorang
yang memiliki budi pekerti yang agung, berwibawa dan pantas menjadi
seorang sultan yang besar,
berpengaruh dan juga inspiratif.
Sementara Ratu Nahrasiyah adalah seorang ratu yang di
pertuan agung di Samudera pasai.
Beliau adalah keturunan keempat dari sultan Malik As-Shalih, yang bergelar Ra-Baghsa Khadiyu (Penguasa yang
Pemurah). Makamnya adalah makam yang terindah di Asia Tenggara, dengan dipenuhi
kaligrafi Al-Qur;an dan ragam motif hias.
Situs makam Sultan Malik As-Shalih dan makam Ratu
Nahrasiyah yang terletak di kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, merupakan
situs makam yang paling banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan, baik
masyarakat Aceh, luar Aceh maupun Mancanegara. Para pengunjung memanfaatkan
kedua situs makam tersebut sebagai
tempat wisata religi dengan berbagai tujuan yakni sebagai tempat melepaskan
nazar (peulheuh ka-oe), memulai
tarekat (tueng-tarekat), memulai pengajian (peuphon beut), mencari asal muasal sejarah masuknya Islam di Asia
Tenggara. Selain itu, situs ini dapat juga mendatangkan manfaat secara ekonomi
bagi masyarakat setempat. Situs ini sangat bernilai tinggi bagi masyarakat dan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan, sehingga diharapkan kepada semua pihak agar terus menjaga
kelestarian situs tersebut sampai kapanpun.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlia. 2004. “Peranan Ratu dan
Sultanah pada Kerajaan Pasai” dalam Arabesk
Edisi ke-4 Mei 2004, Banda Aceh: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Banda Aceh Wilayah Kerja Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
Dyah Hidayati. 2010. Samudera Pasai. Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata, Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Banda Aceh Wilayah Kerja Provinsi Aceh dan Sumatera
Utara.
Harun Nasution. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Hasan Muarif
Ambari. 1996. Makam-makam Islam di Aceh, Aspek-aspek Arkeologi Indonesia. Jakarta: Puslit
Arkenas.
H. M. Zainuddin. 1961. Tarikh Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Luif Makluf. `1986. Al-Munjid fi Al-Lughat Al-A’lam. Beirut: Dar Al-Masyriq.
Mochtar Effendy.
2001. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Volume 4. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Muhammad Said. 1961. Aceh Sepanjang Abad Jilid I.
Medan: Waspada.
M. Solihin dan Rosihon
Anwar. 2011. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
0 Response to "CAGAR BUDAYA SEBAGAI SALAH SATU OBJEK WISATA RELIGI DI KABUPATEN ACEH UTARA (MAKAM SULTAN MALIK AS-SHALIH DAN RATU NAHRASIYAH)"
Post a Comment