Daya Beli Turun Drastis, Pengusaha Sebut Masyarakat Tidak Punya Uang
Daya beli masyarakat Indonesia sedang mengalami tekanan hebat. Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Arsjad Rasjid, menyampaikan bahwa masyarakat kini benar-benar tidak memiliki uang untuk belanja. Ini bukan sekadar asumsi, tetapi berdasar pada fakta penurunan rata-rata saldo rekening masyarakat Indonesia, dari Rp 3,8 juta pada 2014 menjadi hanya sekitar Rp 1,3 juta saat ini.
Penurunan ini menunjukkan masyarakat semakin kesulitan menyimpan uang, bahkan untuk kebutuhan dasar. Para pelaku usaha, khususnya sektor ritel dan UMKM, mulai merasakan dampaknya secara langsung. Penjualan harian menurun, daya beli melemah, dan konsumen semakin selektif terhadap barang yang dibeli. Bahkan, beberapa pelaku usaha mikro menyatakan omzet mereka turun hingga lebih dari 40 persen.
Faktor-faktor penyebab utama lemahnya daya beli mencakup stagnasi pendapatan, inflasi, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, masyarakat Indonesia harus menghadapi beban pengeluaran yang meningkat, tanpa diiringi peningkatan penghasilan.
Krisis ini juga diperparah oleh meningkatnya jumlah pekerja sektor informal. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki jaminan penghasilan tetap. Ketika penghasilan harian tidak mencukupi, prioritas utama masyarakat hanya bertahan hidup, bukan konsumsi barang sekunder atau tersier. Akibatnya, roda perekonomian yang bergantung pada konsumsi masyarakat pun melambat.
Sektor yang paling terdampak dari krisis daya beli ini adalah sektor ritel, makanan dan minuman, tekstil, dan properti. Pengusaha ritel mencatat adanya penurunan trafik kunjungan ke pusat perbelanjaan. Bahkan diskon besar tidak mampu mendongkrak pembelian. Pelaku usaha makanan dan minuman mengaku pembeli kini memilih menu termurah, atau bahkan mengurangi frekuensi makan di luar rumah.
Properti, sebagai sektor dengan perputaran ekonomi tinggi, juga ikut tertekan. Banyak keluarga muda memilih menunda pembelian rumah pertama karena biaya cicilan dianggap terlalu berat. Hal ini tentu berdampak pada sektor industri penunjang seperti bahan bangunan, furnitur, hingga layanan keuangan.
Berdasarkan data dari BPS dan Bank Indonesia, angka konsumsi rumah tangga sebagai kontributor utama PDB nasional menurun dalam dua kuartal terakhir. Pemerintah memang mengklaim pertumbuhan ekonomi masih berada di atas 5 persen, tetapi tidak diimbangi oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata. Artinya, pertumbuhan tersebut tidak cukup inklusif.
Dalam situasi ini, UMKM adalah pihak yang paling rentan. Banyak pelaku usaha kecil yang bergantung pada pembelian harian masyarakat kelas menengah ke bawah. Ketika konsumen tidak lagi berbelanja, maka pelaku usaha tidak punya cukup pemasukan untuk membeli bahan baku, menggaji karyawan, dan menutup biaya operasional lainnya.
Pemerintah perlu segera hadir dengan kebijakan konkret. Subsidi langsung tunai, insentif pajak untuk UMKM, program padat karya, dan stimulus belanja pemerintah bisa menjadi solusi jangka pendek untuk menggerakkan kembali roda konsumsi. Namun, dalam jangka panjang, Indonesia butuh strategi redistribusi ekonomi yang lebih adil dan pembangunan ekonomi yang merata.
Bagi masyarakat, penting untuk mulai menyesuaikan pola hidup. Perencanaan keuangan keluarga harus diperketat. Belanja berdasarkan prioritas, mengurangi utang konsumtif, dan memperbanyak tabungan darurat adalah langkah krusial untuk bertahan di tengah kondisi seperti ini.
Sementara itu, pelaku bisnis juga harus melakukan penyesuaian strategi. Menyediakan produk dengan harga terjangkau, menawarkan paket bundling hemat, hingga memperkuat penjualan digital bisa menjadi cara bertahan menghadapi tekanan daya beli.
Dari sisi media digital, blogger dan konten kreator juga memiliki peran penting dalam menyuarakan kondisi ini. Mereka dapat menyebarkan informasi tentang cara mengelola keuangan, membangun usaha rumahan, hingga strategi berhemat. Artikel yang mengangkat realitas ekonomi masyarakat akan lebih relevan dan dibutuhkan.
Melemahnya daya beli masyarakat adalah krisis nyata yang tidak boleh diabaikan. Baik pengusaha, pemerintah, hingga masyarakat luas harus bersinergi mencari solusi. Dengan gotong royong dan strategi yang tepat, Indonesia bisa keluar dari tekanan ini dan membangun ekonomi yang lebih kuat dan adil.
0 Response to "Daya Beli Turun Drastis, Pengusaha Sebut Masyarakat Tidak Punya Uang"
Post a Comment