Teori Pembangunan
Materi Teori Pembangunan
Beragam teori tentang pembangunan bermunculan di permukaan Geo, yang tujuan dari teori-teori ini adalah untuk menjelaskan tentang pembangunan.
Beragam teori tentang pembangunan bermunculan di permukaan Geo, yang tujuan dari teori-teori ini adalah untuk menjelaskan tentang pembangunan.
Teori Pembangunan |
Teori Pembangunan
TEORI KLASIK
PEMBANGUNAN
Era 1700-an – 1800-an
Adam Smith: Kapitalisme dan Pertumbuhan
Melalui bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of
the Wealth of Nations(1776) Adam Smith merespon kebijakan perdagangan di Eropa
Barat. Pada saat itu, “perdagangan” sebagai pendorong utama pertumbuhan
ekonomi. Kekuasaan berada di tangan para perusahaan dagang raksasa (misalnya the
East India Company). Untuk menjaga kepentingan mereka, kemudian diberlakukan
gerakan proteksionisme sehingga praktis kompetisi menjadi sangat terbatas.
Proteksionisme ini berupa penetapan tarif yang tinggi untuk barang impor. Ini
kemudian membuat harga barang produksi dalam negeri menjadi lebih murah.
Menurut Adam Smith, upaya-upaya seperti ini jelas menghambat
pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan. Mestinya perhatian ditujukan pada
“produksi”. Logikanya sederhana: ada produksi maka ada pembagian tenaga kerja (division
of labor); ada pembagian kerja, ada perbaikan produktivitas; dengan adanya
perbaikan produktivitas, ada perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Kemudian pelaksanaan sistem akan diatur oleh “the invisible
hand of market”. Smith percaya individu akan bertindak mengikuti kepentingan
pribadi (self-interest); apabila suatu produk dirasa terlalu mahal maka tidak
akan ada yang membelinya dan penjual akan mengurangi harga, atau menjual
sesuatu yang lain. Juga, jika gaji terlalu rendah, pegawai akan mencari
pekerjaan yang lain. Pandangan Smith ini masih mempengaruh proses pembangunan
ekonomi hingga dewasa ini. Pendekatan pasar (market-based approach) dalam
pembangunan ekonomi juga diistilahkan dengan laissez-faire economics.
David Ricardo: Teori Diminishing Return dan Comparative
Advantage
David Ricardo merupakan salah satu pendukung perdagangan
bebas (free trade) dan mengembangkan teori keuntungan komparatif (comparative
advantage). Menurut teori ini, setiap negara seharusnya berfokus pada persoalan
produksi dan kemudian menjual barang tersebut sehingga mereka punya keuntungan
dalam produksi. Spesialisasi diperlukan sehingga produksi menjadi lebih efisien.
Dengan demikian ada kemampuan untuk proses pertumbuhan dan risorsis dapat
digunakan secara lebih efektif.
David Ricardo, melalui Principles of Political Economy
and Taxation (1817), nampaknya pesimistis tentang kemungkinan terjaganya
pertumbuhan ekonomi. Bagi Ricardo, pertumbuhan dibatasi oleh kelangkaan lahan (land
scarcity).
Teori Malthus: Populasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Malthus, populasi akan tumbuh manakala pendapatan
naik di atas level subsisten. Mengapa? Karena adanya “animal nature” manusia,
khususnya “pekerja miskin”. Keterkaitan antara pendapatan dan pertumbuhan
dijelaskan dengan logika berikut: jika rata-rata pendapatan per orang naik
karena semakin baiknya iklim dan tingginya output yang dihasilkan maka akan ada
lebih banyak pangan dan kebutuhan lain. Jika pendapatan dan suplai pangan
melebihi apa yang disyaratkan untuk kegiatan subsistem maka tambahan anak akan
tetap ada.
Dalam formulasi Malthus, pertambahan penduduk mengikuti
“geometric progression,” yakni jumlah penduduk tumbuh menurut angka 2, 4, 8,
16, 32, 64, 128, 256, 512, 1,024, 2,048, dan seterusnya. Bagi Malthus, prinsip
ini terjadi pada setiap generasi, ketika upah meningkat di atas level subsistem
merupakan faktor utama untuk memahami mengapa kelas yang lebih miskin tetap
miskin.
Keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan kemiskinan
dijelaskan dengan logika berikut: batas tertinggi ekspansi penduduk adalah
ketika lahan sudah tidak mampu lagi untuk menghasilkan cukup pangan. Produksi
kebutuhan pangan tentunya tidak dapat dijaga sesuai dengan ledakan penduduk.
Ketika lahan semakin sering ditanam maka angka fertilitas cenderung menjadi
rendah. Produktivitas output per unit dari lahan akan berkurang, sehingga
pertumbuhan output total pangan akan lambat.
Malthus percaya bahwa output pertanian hanya dapat meningkat
dalam “arithmetic progression,” yakni menurut angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, dan seterusnya. Cepat atau lambat populasi yang kian meningkat akan
dihadapkan dengan lebih lambatnya pertumbuhan produksi pangan dasar. Tidak
hanya pendapatan per orang yang tidak meningkat, bahkan lebih dari itu akan
jatuh di bawah kebutuhan subsistens. Kalau pendapatan berada di bawah level
subsisten maka berpotensi menyebabkan kelaparan, bahkan penurunan populasi.
Titik keseimbangan (equilibrium) akan terjaga manakala pertumbuhan populasi
berjalan konsisten dengan peningkatan produksi pangan.
Malthus tidak menyadari bahwa ada faktor yang memperlambat
angka pertumbuhan populasi. Karena angka pertumbuhan populasi tergantung pada
perbedaan antara angka kelahiran dan kematian, maka setiap faktor yang
mengurangi angka kelahiran dan/atau meningkatkan angka kematian akan cenderung
memperlambat angka pertumbuhan penduduk.
Karl Marx: Pembangunan Kapitalisme
Negara berperan penting dalam semua pendekatan pembangunan.
Peran tersebut misalnya menyiapkan sistem regulasi, hukum dan aturan agar pasar
dapat bekerja secara lebih efisien, ataupun pemerintah bisa lebih
intervensionis dalam kehidupan ekonomi seperti yang ditekankan oleh Marx.
Menurut Marx, suatu pendekatan pembangunan yang bersifat
”ahistoris” sebaiknya diganti dengan pendekatan ”dialektika historikal”.
Menurutnya, analisis ekonomi klasik memandang proses pembangunan ibaratnya
sebuah fotografi: hanya menggambarkan realitas pada waktu tertentu. Sebaliknya,
pendekatan dialektikal memandang proses pembangunan sebagai suatu gambar
bergerak (moving picture): mengamati fenomena sosial dengan cara mengkaji
”tempat” dan ”proses” perubahannya. Sejarah bergerak dari satu tahap ke tahap
yang lain (dari feodalisme ke kapitalisme ke sosialisme), berdasarkan perubahan
cara mengatur kelas-kelas sosial dan relasi antar kelas tersebut. Konflik
antara kekuatan-kekuatan produksi (pengetahuan dan teknologi, organisasi
produksi, dan pengembangan keahlian manusia) dan relasi produksi yang ada
(ketepatan dan distribusi output serta cara berpikir masyarakat, dan ideologi)
memberikan pergerakan yang dinamis dalam interpretasi materialis. Interaksi
antara kekuatan dan relasi produksi membentuk politik, hukum, moralitas, agama,
budaya, dan gagasan-gagasan.
Berbeda dengan pakar yang lain (Smith, Malthus, dan Ricardo),
menurut Karl Marx kapitalisme tidak selamanya ada dalam sebuah masyarakat.
Kapitalisme hanya menjadi satu tahap perkembangan historis masyarakat, meskipun
perkembangan historis ini tidak dialami oleh semua negara pada saat yang sama.
Marx percaya kapitalisme pada akhirnya akan menciptakan suatu sistem ekonomi
sosialis, dan karenanya, komunis. Karya Marx yang monumental adalah Capitalyang
hanya satu volume. Ia meninggal pada tahun 1883, dan dua volumeCapital diedit
dan dipublikasikan di tahun 1885 dan 1894 oleh teman dekatnya yakni Frederick
Engels.
Marx mengagumi kekuatan yang dimiliki oleh kapitalisme, suatu
sistem yang telah berhasil menciptakan kesejahteraan dalam ratusan tahun. Namun
yang ”mengganggu” Marx adalah faktor human cost dalam menghasilkan
kesejahteraan dan distribusi satu-sisi. Marx percaya bahwa sebenarnya hanya
kelas pekerja – proletariat – yang menghasilkan kesejahteraan melalui kekuatan
buruhnya. Sedangkan kaum kapitalis memberikan kontribusinya semata-mata dari
posisinya sebagai pemilik sarana produksi.
Marx berpendapat bahwa ketidakmerataan distribusi kepemilikan
sarana produksi adalah hasil dari suatu proses historis dimana petani
kehilangan akses lahan dan dipaksa untuk masuk ke kota dan menjadi pekerja.
Karenanya ia berpendapat bahwa distribusi pendapatan dalam masyarakat kapitalis
tidak adil. Meski demikian, transisi menuju sosialisme dapat dicapai bila
kapitalisme telah mencapai tahap perkembangan yang cukup tinggi. Bagi Marx,
tingkat pendapatan per kapita yang tinggi dalam lingkungan ekonomi kapitalis
adalah suatu prakondisi bagi masa depan sosialis, dan sistem ekonomi komunis
akan mengikutinya.
Teori pembangunan ala Marx ini mirip dengan model tahap
linear (linear stages models). Kapitalisme dipandang sebagai satu tahap dalam
transisi. Secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tahap
|
Karakteristik
|
Kuno/primitif, feodalisme atau Asiatic
|
Masyarakat kuno, kepemilikan lahan secara komunal.
Feodalisme ditemukan dalam masyarakat “Barat”; berdasarkan pada produksi
pertanian yang dikelola dalam lahan yang luas; kepemilikan lahan oleh
beberapa orang.
Asiatic ditemukan pada masyarakat “Timur”, misalnya India,
Cina, Turki, Persia; kelas-kelas yang berbeda mendominasi ekonomi dan
aparatus pemerintah; dibutuhkan untuk menjamin kontrol terpusat akan
teknologi penting seperti sistem irigasi dan sebagainya.
|
Kapitalisme
|
Masyarakat terbagi ke dalam kelompok masyarakat yang
memiliki sarana produksi (means of production[1])
dan tidak; pasar memegang peran penting dalam alokasi risorsis.
|
Sosialisme
|
Kepemilikan sarana-sarana produksi oleh negara atau orang;
industrialisasi berarti bahwa orang tidak perlu harus berjuang untuk suatu
kehidupan dan kebutuhan individu dapat dipenuhi melalui sistim distribusi
yang kolektif.
|
Sumber: diadaptasi dari Gregory (1986); Smith (2000); Worsley
(1990); Willis (2005).
TEORI-TEORI
MODERNISASI
Era 1920-an – 1930-an: John Maynard Keynes
Para penganut ekonomi klasik percaya bahwa pasar merupakan
suatu mekanisme untuk memaksimalkan efisiensi risorsis. Namun pada tahun 1929
dan 1930 terjadi Kejatuhan Wall Street (Wall Street Crash) dan adanya Depresi
Hebat (Great Depression) di Amerika. Ketika terjadi kegagalan mekanisme pasar
bebas untuk mencapai titik equilibrium, para ekonom mulai membangun pemahaman
baru tentang ekonomi negara. Yang paling mencengangkan adalah pemikiran ekonom
Inggris yakni John Maynard Keynes yang pada tahun 1936 mempublikasikan The
General Theory of Employment, Interest, and Money.
Keynes berpendapat bahwa pasar bebas tidak selamanya menjadi
kekuatan positif seperti yang diyakini banyak orang. Menurutnya, kunci utama
untuk pertumbuhan adalah “investasi nyata” (real invenstment), misalnya dalam
proyek infrastruktur baru. Investasi ini, menurutnya, akan memberikan efek
positif bagi penciptaan lapangan kerja dan selanjutnya menghasilkan
kesejahteraan melaluimultiplier effect. Misalnya, apabila pemerintah mendanai
pembangunan jalan, hal ini menciptakan pekerjaan tidak hanya untuk pembangun
jalan, tetapi juga untuk suplier material jalan dan alat-alat lain. Para
pekerja akan mengeluarkan uang untuk pekerjaan orang lain, dan perusahaan akan
menghasilkan profit yang akan diinvestasikan lebih lanjut.
Keynes melihat adanya ”peran pemerintah” dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung ”investasi”, pemerintah dapat menetapkan
kebijakan-kebijakan moneter seperti mengubah interest rates, atau secara
langsung melalui government expenditure. Pengeluaran pemerintah
(government expenditure), karenanya, merupakan suatu jalan untuk “menangkal
krisis”.
Era 1960-an
W.W. Rostow: Teori Pertumbuhan Linear (Linear-Stages Theory):
Pada tahun 1960, Walt Rostow mempublikasikan The Stages
of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Rostow menulis tentang
“pertumbuhan ekonomi” bukan “pembangunan”. Melalui pemikirannya, ada jalan
menuju kepada “pembangunan” dengan tahap terakhir yang dikenal dengan era
konsumsi masa yang tinggi. Karenanya, dalam istilahnya, “pembangunan” dipahami
sebagai suatu kondisi negara dimana penduduk dapat mengeluarkan banyak uang
untuk membeli produk-produk. Pembangunan kemudian lebih mengambil tempat pada
konteks kapitalis, ketimbang komunis. Sebagai suatu proses, “pembangunan”
dipahami dalam kaitannya dengan modernitas, dan sebuah pergerakan dari
masyarakat agrikultural dengan serangkaian praktek budaya tradisional untuk
menuju kepada suatu negara industri yang lebih rasional dan berfokus pada
ekonomi.
Ia menganalogikan proses ini seperti pergerakan pesawat
sepanjang landasan pacu hingga mencapai titik take-off dan kemudian
terbang.
Tahap
|
Karakteristik
|
Tradisional
|
Berbasis
pertanian; menggunakan ilmu dan teknologi sebelum Newtonian; pre-nation-state
|
Prakondisi
untuk Lepas Landas
|
Rerata
tabungan dan investasi diatas rerata pertumbuhan populasi; organisasi dan
institusi level nasional; elit baru; perubahan seringkali dipicu oleh intrusi
eksternal
|
Lepas
Landas
|
Rangsangan
untuk lepas landas dibutuhkan, misalnya melalui revolusi politik, inovasi
teknik, mengubah lingkungan ekonomi internasional; angka investasi dan
tabungan 5-10% dari pendapatan nasional; sektor manufaktur; pengaturan
institusi yang tepat, misalnya sistem perbankan
|
Menuju
kepada Kematangan
|
Perluasan
teknologi; pembangunan sektor baru; invenstasi dan tabungan 10-20% dari
pendapatan nasional
|
Era
Konsumsi Tinggi
|
Konsumsi
tinggi akan barang dan jasa; meningkatnya pengeluaran untuk pelayanan
kesejahteraan.
|
Sumber: Rostow, 1960; dalam Willis (2005).
Paul Rosenstein-Rodan: Teori The Big Push
Menurut Rosenstein-Rodan, kalau negara berkembang mau memutus
rantai kemiskinan maka perlu ada “investasi berskala besar” di sektor industri
(big push). Investasi dalam skala besar ini akan menciptakan interaksi yang
sinergis diantara berbagai sektor.
Namun hal ini sulit sekali dilakukan dalam suatu frame pasar
alami. Para wirausahawan akan berpikir matang untuk menerapkan konsep big
push ini berdasarkan kalkulasi untung-ruginya. Karenanya, sektor-sektor
produksi yang potensial tidak dapat “digarap” oleh pasar (privat) karena
keraguan pasar untuk membuat keputusan investasi. Apalagi untuk menjalankan
konsep big push ini, diperlukan dukungan infrastruktur sosial
seperti: jalan, jembatan, pelabuhan, sistem komunikasi, rumah sakit, sekolah,
irigasi, dan sebagainya.
Rosenstein-Rodan mengklaim bahwa ia telah membuat beberapa
inovasi. Pertama, terkait dengan pengangguran terselubung (disguised unemployment)
khususnya dalam sektor pertanian akan mengalami peningkatan output total
mengingat dukungan infrastruktur sosial menjadi penting dalam pembangunan.
Kedua, investasi berskala besar berpotensi memberikan dampak bagi pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan di luar dari yang diprediksi. Ketiga, investasi
berskala besar dapat menghasilkan tenaga-tenaga terlatih dan profesional.
Teori Lingkaran Setan (Vicious Circle Theory)
Esensi dari teori ini adalah kemiskinan mengekalkan dirinya
dalam pengukuhan lingkaran setan pada dua sisi yakni supply dan demand.
Pada sisi supply, karena pendapatan rendah, konsumsi tidak dapat diubah
menjadi tabungan sehingga tidak ada pembentukan kapital. Minimnya modal (capital)
menyebabkan produktivitas rendah, sehingga tingkat pendapatannya rendah. Sebuah
negara menjadi miskin karena sebelumnya terlalu miskin untuk menabung
dan menginvestasi. Atau seperti yang dikatakan oleh Jeffrey Sachs (2005:56)
mengenai jebakan kemiskinan (the poverty trap): “kemiskinan itu sendiri yang
menjadi sebab terjadinya stagnasi ekonomi. Jepang memiliki angka tabungan
tinggi sepanjang periode pertumbuhan ekonomi sepanjang dekade 1950an, 1960an,
dan 1970n, serta Macan Asia (Malaysia, Thailand) memiliki angka tabungan yang
tinggi menyiratkan sisi lain dari koin lingkaran setan. Ketika negara-negara
kian kaya, mereka menabung lebih, menciptakan suatu virtuous circle dimana
angka tabungan yang tinggi akan membawa pertumbuhan yang lebih cepat (Edwards
1995; Economist 1995b:72; World Bank 2003i:218–220).
Pada sisi demand, karena pendapatan rendah, ukuran pasar
(misalnya untuk barang konsumsi seperti sepatu, tekstil, dsb.) menjadi terlalu
kecil untuk melibatkan investor potensial. Minimnya investasi menyebabkan
produktivitas dan pendapatan rendah. Sebuah negara miskin karena
sebelumnya terlalu miskin untuk menyediakan pasar untuk mendorong investasi.
Pertumbuhan Berimbang Vs Tak Berimbang (Balanced Versus
Unbalanced Growth)
Balanced Growth
Debat pembangunan pada 1940-an hingga 1960-an berkenaan
dengan konsepbalanced growth versus unbalanced growth. Oleh para
penganjurnya, esensi dari konsep balanced growth adalah modal (capital)
atau investasi harus ditanamkan dalam “berbagai sektor” yang saling mendukung
satu sama lain. Ragnar Nurkse (1953) memandang strategi ini sebagai
satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari lingkaran setan kemiskinan. Tesis
ini mendukung tesis big push theory (Paul Rosenstein-Rodan),
bahwa suatu strategi “gradualisme” akan mengalami kegagalan. Perlu ada upaya
untuk mengatasi inersia yang inheren dalam ekonomi yang stagnan. Situasinya
dianalogikan dengan sebuah mobil yang macet di tengah salju: mobil itu tidak
akan bergerak dengan sedikit dorongan perlahan-lahan; ia memerlukan suatu
dorongan yang kuat (a big push).
Unbalanced Growth
Menurut teori unbalanced growth (Albert O.
Hirschman, 1958), investasi hanya ditanam dalam sektor strategis tertentu yang
merupakan leading sector, dan ini akan menciptakan peluang investasi lebih
lanjut. Ini merupakan jalan terbaik untuk pertumbuhan ekonomi. Menurutnya,
tesis the big push terlalu gloomybagi LDCs: mereka tidak
memiliki keahlian untuk melakukan suatu upaya yang masif.
Kekurangan utama dalam negara terbelakang (LDC) tidak
terletak pada suplai tabungan, tetapi keputusan untuk berinvestasi oleh para entrepreneurs dan
pembuat keputusan. Kemampuan untuk berinvestasi tergantung pada jumlah dan
keberadaan investasi. Hirschman percaya bahwa negara-negara miskin memerlukan
suatu strategi pembangunan yang mendorong keputusan investasi.
Ia menyatakan bahwa karena risorsis dan kemampuan terbatas,
tesis big pushlebih masuk akal jika diterapkan secara strategik dalam
industri tertentu. Pertumbuhan kemudian akan menyebar dari satu sektor ke
sektor lainnya.
Model Perubahan Struktural
Oleh Todaro (2000), terjadinya pergeseran secara gradual
diistilahkan sebagai “model perubahan struktural”. Dasar dari model pembangunan
ini adalah terjadinya pergeseran ekonomi nasional dari pembangunan desa (rural)
yang notabene menekankan pertanian menuju kepada pembangunan kota yang
menekankan penguatan industri.
W. Arthur Lewis adalah salah seorang teorist kunci dari model
pembangunan ini. Melalui pengalamannya di Karibia, ia kemudian mengkaji hakekat
pembangunan ekonomi. Menurutnya, ada dualisme ekonomi yang dimiliki oleh negara-negara
“terbelakang” (underdeveloped). Pertama, sektor “tradisional”, umumnya
merupakan pertanian subsisten. Kedua, sektor “modern” yang bercorak pertanian
komersial, plantasi, dan manufaktur. Bagi Lewis, konsep “pembangunan” mengambil
tempatnya ketika surplus tenaga kerja bergerak dari sektor tradisional ke
modern yang kapitalis. Karena ada begitu banyak “surplus” tenaga kerja di
wilayah desa (rural), upah di sektor modern tidak akan meningkat sampai surplus
tenaga kerja telah terserap (Lewis, 1964).
Lewis menekankan bahwa seharusnya negara-negara sudah harus
mulai membangun sektor “modern”, khususnya bagaimana negara harus menambah uang
untuk kegiatan investasi manakala tabungan masyarakat terbatas sebagai akibat
dari tingginya tingkat kemiskinan. Sebagai suatu jalan keluar dari jebakan ini,
ia mendukung perlunya investasi luar negeri. Pemerintah perlu melibatkan
perusahaan-perusahaan luar negeri agar mau menginvestasikan modalnya dalam
pembangunan domestik melalui suatu proses yang disebut “industrialization by
invitation” (Lewis, 1955).
Dimensi Spasial
Seperti diketahui bersama, pembangunan tidak hanya memiliki
dimensi sosial saja tetapi juga spasial. Persis seperti kebijakan pembangunan
menurut model Keynesian yang menuju kepada terciptanya “efek tetesan ke bawah”
(trickle down effect), begitu juga manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh
setiap wilayah (region) yang berbeda. Bagi Albert Hirschman (1958), pertumbuhan
secara spasial adalah bagian dari suatu proses pembangunan.
Berdasarkan pada pengalamannya di Amerika Latin, ia
berpendapat bahwa lebih masuk akal apabila pembangunan ekonomi, khususnya
industrialisasi, dapat terkonsentrasi secara spasial ketimbang harus mencapai
angka pertumbuhan yang merata di seluruh bagian negara. Argumennya adalah bahwa
apa yang disebut sebagai “growth poles” akan menjadi foci bagi pembangunan
ekonomi, namun sepanjang waktu, manfaat dari proses pembangunan akan menyebar
dan derajat polarisasi akan berkurang. Ia mengakui bahwa kondisi yang ada di
negara-negara miskin mungkin memerlukan bentuk pendekatan pembangunan yang
berbeda. Dibalik ide “unbalanced growth” dan “growth poles” akan lebih mudah
mengetahui konsepsi pertumbuhan sebagai suatu proses yang lebih alami atau
tidak.
Gunnar Myrdal (1957), seorang ekonom Swedia, juga menyoroti
ketimpangan spasial (spatial inequalities) melekat dalam model pembangunan
ekonomi yang menekankan pasar bebas. Hal ini dapat dilacak dalam karyanya yang
berjudulEconomic Theory and Underdeveloped Regions. Namun tidak seperti
Hirschman, Myrdal tidak percaya bahwa polarisasi spasial secara otomatis akan reversedketika
pembanguna ekonomi mencapai suatu level tertentu. Menurutnya, manakala suatu
wilayah mulai tumbuh secara ekonomi maka akan ada penarikan sumber daya manusia,
risorsis, dan dana ke daerah tersebut sehingga memberikan kontribusi bagi
pertumbuhan selanjutnya. Dengan demikian terjadi penipisan kontribusi orang dan
risorsis pada pembangunan di wilayah atau daerah lainnya. Hal ini yang kemudian
disebut sebagai “backwash effects”.
Bagi Myrdal, satu-satunya cara untuk mengurangi efek dari spatial
inequalitiesadalah melalui intervensi pemerintah. Menurutnya, apabila
perencanaan pemerintah lebih efisien maka tidak perlu ada variasi wilayah dalam
angka pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, ia menyadari sepenuhnya bahwa dalam
banyak situasi pemerintah dalam banyak negara tidak mampu mencapai hal tersebut
(Myrdal 1970). Menurutnya perlu adanya strong states untuk menjamin
agar mekanisme perencanaan dapat diimplementasikan. Keyakinan Myrdal mengenai
perencanaan sebagai suatu solusi bagi “masalah-masalah pembangunan” sangat
tepat dengan apa yang disebut sebagai sebuah pendekatan teknokratik
Eurocentric.
Era 1970-an: Neo-Liberalisme
Bagi kebanyakan pemerintah di bagian Utara, pembangunan dalam
periode sesudah Perang Dunia II dapat dicapai melalui berbagai variasi dalam
pendekatan Keynesian. Pendekatan ini berdasarkan pada intervensi pemerintah
pada level nasional dan bantuan luar negeri pada skala internasional.
Perspektif ini berubah sepanjang era 1970-an ketika peran negara mulai
dipertanyakan.
Pada era 1970-an, beberapa teorist mulai berpendapat bahwa
keterlibatan negara yang begitu luas dalam aktivitas ekonomi telah menciptakan
inefisiensi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Teorist ini, diantaranya
Deepak Lal (1983) dan Bela Balassa (1971, 1981) berdasarkan pada teori the
invisible hand. Bagi para teorist neo-klasik dan neo-liberal, agar ada
kesejahteraan bagi semua orang maka pemerintah perlu mengurangi intervensinya
dan biarkan pasar menetapkan harga. Hal ini akan menciptakan alokasi risorsis
yang paling efisien. Bantuan luar negeri juga menyebabkan terjadinya
inefisiensi dan karenanya bentuk intervensi seperti itu perlu dikurangi.
Toye (1993) menggambarkan pergeseran teori pembangunan ini
sebagai suatu “counter-revolution”. Ia menyimpulkan ada 3 pendekatan kebijakan
yang harus dihadapi:
Meluasnya cakupan sektor publik.
Penekanan lebih pada kebijakan investasi dalam modal fisik
seperti infrastruktur, ketimbang modal sosial seperti pendidikan dan kesehatan;
Meluasnya penggunaan kontrol ekonomi seperti tarif, subsidi
dan kuota yang mendistorsi harga. (Toye, 1993).
Ketiga hal tersebut berkaitan dengan aspek internal sebuah
negara. Tidak ada faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan ekonomi.
Misalnya, Balassa lebih menekankan pada liberalisasi perdagangan. Dengan
menggunakan kasus 4 negara di Amerika Latin dan 4 negara di Asia, Balassa
(1971) mengkaji peran negara dalam mendukung pertumbuhan ekonomi melalui
industrialisasi di balik berbagai hambatan tarif.
TEORI NEO-MARXISM, STRUKTURALIS, KETERGANTUNGAN/DEPENDENSI,
DAN
PASCA-KETERGANTUNGAN
Teori Neo-Marxism
Teori klasik Marxis di atas dikritik karena lebih berfokus
pada pengalaman masyarakat Eropa Barat dan berasumsi bahwa semua negara akan
mengikuti pola kemajuan dan pembangunan yang sama. Pada tahun 1950-an dan
1960-an pendekatan neo-Marxist mulai mempertanyakan interpretasi tersebut.
Pengalaman negara-negara yang baru merdeka di Karibia, Afrika dan Asia
menunjukkan bahwa ide Lenin tentang imperialisme menjadi tahap tertinggi dalam
kapitalisme dapat dipertentangkan.
Paul Baran (1960) berdasarkan ide Marxist, kemudian memberi
label neo-Marxism. Ia, bersama dengan Paul Sweezy, berpendapat bahwa
kapitalisme sedang berada dalam suatu periode “monopoly capitalism” (Baran
& Sweezy, 1968). Perusahaan besar mendominsai ekonomi dunia dan mampu
mengekploitasi bagian dunia yang lebih miskin. Menurutnya, pemerintah di negara
miskin dan berkembang harus melakukan intervensi dan mencegah inefisiensi dana
untuk pembangunan di luar negara. Sayangnya, pemerintah di negara-negara miskin
cenderung korup, kekuasaannya terbatas untuk mencegah eksploitasi ini.
Bagi Baran satu-satunya solusi terhadap masalah ini adalah
meninggalkan sistem kapitalis dunia untuk mendukung sistem sosialis-negara (state-socialist
system). Hanya dengan melakukan hal tersebut maka pembangunan menjadi mungkin
terjadi. Ide ini serupa dengan ide yang diadopsi oleh para pakar aliran
dependensi.
Teori Strukturalis
Teori-teori pembangunan sebagian besar berangkat dari
pengalaman Eropa. Namun, pendekatan Eurosentris ini mengalami tantangan dari
perspektif lainnya. Diantaranya para akademisi dan penulis dari Amerika Latin.
Pendekatan strukturalis menjelaskan hakekat ekonomi
negara-negara Amerika Latin dan derajat pembangunannya. Raul Prebisch bersama
penulis yang lain memberikan argumen tentang teori dan strategi pembangunan
berdasarkan pengalaman di Amerika Latin. Menurut Prebisch, rendahnya tingkat
pertumbuhan ekonomi dan standar hidup tidak akan diperbaiki melalui perdagangan
bebas (free trade) seperti yang dikumandangkan oleh para teorist modernisasi.
Hal ini karena struktur ekonomi global sangat berbeda dengan situasi ketika
negara-negara Eropa mengalami proses industrialisasi. Menurut Prebisch, sistem
perdagangan global yang lebih berdasarkan pada prinsip perdagangan bebas
merupakan suatu hambatan bagi pembangunan di Amerika Latin.
Menurut para pakar strukturalis, pembangunan sebagai suatu
tujuan (goal) tidak dihadirkan dengan industrialisasi, urbanisasi, dan
simbol-simbol modernisasi lainnya. Pembangunan harus dilihat sebagai suatu
proses yang “jalan”nya akan berbeda dengan pendekatan Eurosentris.
Bagaimana mungkin “jalan” yang ditempuh bisa sama apabila lingkungan global
saja sudah berbeda? Intinya, ada pengakuan akan pentingnya konteks historis
dalam pembangunan.
Menurut interpretasi kaum strukturalis, strategi pembangunan
nasional harus mencakup interevensi negara yang lebih besar untuk melindungi
industri-industri nasional untuk membangun dirinya. Pendekatan ini dibangun
berdasarkan ide “infant industry” yang dikembangkan oleh Friedrich List,
seorang ekonom Jerman.
Teori Dependensi/Ketergantungan
Salah satu kelompok teori yang tergolong ke dalam Teori
Struktural yakni Teori Ketergantungan (Dependensi) (Budiman, Arif, 2000).
Beberapa tokoh kunci Teori Ketergantungan adalah: Raul Prebisch, Paul Baran,
Andre Gunder Frank, dan Theotonio Dos Santos.
Argumen kunci dari para teorist dependensi adalah bahwa
negara-negara Amerika Latin berada dalam kondisi “terbelakang” (underdevelopment)
karena bekerjanya sistem kapitalis. Khususnya, negara-negara industri mengalami
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi melalui proses eksploitasi terhadap
negara-negara pinggiran (periphery) yang non-industri. Menurut para teorist
dependensi, situasi pembangunan di Amerika Latin merupakan hasil dari
pembangunan kapitalis, sama seperti industrialisasi di Utara merupakan hasil
dari proses ini. Andre Gunder Frank (1967) mengatakan hal ini sebagai “development
of underdevelopment”.
Frank mengambil contoh Chile dan Brazil untuk menunjukkan
rantai ketergantungan yang telah ada sejak periode kolonial bermula di abad
ke-16. Ia berpendapat bahwa dengan pembangunan yang bercorak kapitalis (ia
memaknai kapitalisme sebagai proses produksi untuk pertukaran pasar), Amerika
Latin terjebak dalam suatu sistem ketergantungan global hingga pada tataran
antar personal. Petani dieksploitasi oleh pemilik lahan. Para pemilik lahan ini
kemudian menjual barang-barang mereka kepada para pedagang (merchants) di kota
dengan harga yang lebih tinggi. Rantai pertukaran dan eksploitasi ini
berlanjut, hingga surplus yang dihasilkan dibawa sampai ke negara-negara pusat.
Meskipun para teorist dependensi sepakat bahwa faktor-faktor
eksogen (di luar negara) menjadi kunci untuk menjelaskan rendahnya tingkat
pembangunan ekonomi di Amerika Latin, namun solusi terhadap situasi ini
berbeda-beda. Clarke (2002) menyoroti perbedaan utama diantara kaum “reformist”
dan “Marxist”. Bagi kaum reformis, seperti halnya kaum strukturalis, yang
diperlukan adalah reformasi sistem perdagangan kapitalis, mungkin dengan
perlunya intervensi negara yang lebih kuat (lihat Furtado, 1976). Sedangkan
kaum Marxist (atau lebih tepatnya neo-Marxist) memandang kejatuhan sistem
kapitalis sebagai satu-satunya solusi. Sebagai salah satu pendukung dari
pendekatan ini, Frank berpendapat bahwa di dalam kapitalisme, wilayah-wilayah
periferi dunia akan selalu dieksploitasi dan dimarginalkan.
Meskipun teori dependensi utamanya berkenaan dengan kondisi
di Amerika Latin, namun teori ini juga dapat diterapkan di bagian lain dunia.
Misalnya, Walter Rodney dalam bukunya How Europe Underdeveloped Africa (1981)
berpendapat bahwa intervensi Eropa dalam proses politik, sosial, dan ekonomi
Afrika sepanjang abad ke-19 telah menciptakan ketergantungan dan menghasilkan
kemiskinan bagi masyarkat Afrika. Amin (1974) memberikan argumen serupa dalam
kasus Afrika, berfokus pada proses ekonomi, khususnya ekstraksi produk-produk
utama.
Hubungan antara Negara Pusat (Core) – Pinggiran (Periphery)
dalam Model Dependensi
Meskipun pendekatan dependensi sangat populer di era 1970-an,
namun pengaruhnya pada pembuatan kebijakan begitu terbatas dan telah dikritik
banyak pihak. Kritik datang dari bukti-bukti empiris yang menentang klaim-klaim
yang diberikan oleh para teoritist dependensi. Konklusi bahwa pembangunan
ala-kapitalis tidak dimungkinkan untuk negara-negara pinggiran dikritik seiring
dengan keberhasilan ekonomi yang dialami oleh negara-negara industri baru di
Asia sepanjang tahun 1970-an. Disamping itu, teori dependensi dikritik karena
sepenuhnya berkenaan dengan faktor ekonomi, tanpa mempertimbangkan konteks
politik, sosial, dan kultural dimana pembangunan mengambil tempatnya.
Meskipun para pendukung aliran dependensi memperhatikan
konteks sejarah, namun mereka tidak mempertimbangkan konteks yang lebih luas
dimana pembangunan terjadi. Booth (1985) juga mengkritik aliran dependensi –
khususnya Frank – mengeni definisi kapitalisme yang digunakan. Dalam pandangan
Frank, pembangunan kapitalis dimaknai sebagai “pertumbuhan industri yang
alamiah (autonomous)”. Jika definisi ini digunakan, menurut Booth, pembangunan
kapitalis akan berhasil apabila kedekatan sebuah negara dengan ekonomi global
lebih lemah. Menurut Booth, argumen ini justru mendiskreditkan pendekatan
dependensi itu sendiri.
Teori Pasca-Ketergantungan
Immanuel Wallerstein: Teori Sistem Dunia (World-System Theory)
Pentingnya sistem ekonomi global dan hirarki yang ada di
dalamnya juga merupakan suatu faktor penentu dalam teori sistem dunia. Teori
ini dikembangkan oleh Immanuel Wallerstein (1974) dan memiliki karakteristik
seperti aliran dependensi. Misalnya, kedua pendekatan menekankan pentingnya
memperhitungkan pembangunan ekonomi nasional di dalam konteks global. Kekuatan
sebuah negara dalam sistem global akan mempengaruhi tingkat pembangunan suatu
negara.
Meski demikian, Wallerstein dengan jeli menganalisa di luar dualisme
statis dalam model dependensi. Kalau dalam model dependensi hanya ada negara
“core” dan “periphery”, bagi Wallerstein sendiri setidaknya ada 3 kelompok
negara yakni: “core”, “semi-periphery” dan “periphery”. Pengelompokkan negara
ke dalam 3 kategori tersebut tidaklah tetap; kapanpun setiap negara bisa keluar
dari satu kategori ke kategori lain tergantung pada situasi ekonomi negara
tersebut. Kategori ‘semi-periphery’ merupakan suatu refleksi dari even global
yang ada di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pada saat itu, beberapa
negara sedang mengalami pembangunan ekonomi khususnya industrialisasi.
Negara-negara industri baru ini (newly-industrializing countries – NICs)
disebut juga sebagai Macan Asia (Asian Tigers) yang meliputi Korea Selatan,
Hongkong, Singapura dan Taiwan, serta beberapa negara Amerika Latin seperti
Brazil.
Seperti Frank, Wallerstein memandang sistem kapitalis dunia
mulai dari abad ke-15 dan 16, ketika pengaruh Eropa meluas hingga keluar Eropa.
Sebelum revolusi industri di abad ke-18, berbagai kekuatan Eropa saling
berusaha untuk mendominasi, dan negara-negara yang kalah bersaing kemudian
menjadi semi-periferi (misalnya Spanyol) sementara negara-negara di Eropa
Utarabarat (Northwest Europe) menjadi negara pusat. Termasuk wilayah periferi
pada waktu itu adalah Amerika Selatan dan Tengah. Dengan ekspansi di Eropa dan
kemudian di Amerika, negara pusat meluas, beberapa negara pinggiran menjadi
semi-pinggiran dan negara pinggiran (periferi) menjadi bagian dalam sistem
ekonomi global melalui proses kolonialisasi (Peet with Hartwick 1999).
Pada awal abad ke 20, negara-negara pusat terdiri dari Eropa
Barat, Amerika dan Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Negara-negara
semi-periferi adalah Amerika Latin, Eropa Timur, Rusia, China, India, dan
banyak negara di Asia Selatan. Di Afrika, hanya Afrika Selatan, Mesir, dan
Tunisia (Klak, 2002). Sisanya adalah negara-negara yang tergolong dalam
kategori negara pinggiran (periferi) dalam sistem ekonomi global.
TEORI PEMBANGUNAN NEO-KLASIK
Era 1980-an
Pada era 1980-an, Presiden Amerika Ronald Reagan, Perdana
Menteri Inggris Margaret Thatcher, Perdana Menteri Kanada Brian Mulroney,
Kanselor Jerman Helmut Kohl, dan Perdana Menteri Jepang dari Partai Demokratik
Liberal Jepang sejalan dengan revolusi neoklasik dalam analisis dan kebijakan
ekonomi. Kata “Liberal” di sini mengacu kepada liberalisme ekonomi (ideologi
yang dilontarkan oleh Adam Smith, Milton Friedman, dan Ludwig von Hayek), yang
menekankan kebebasan dari hambatan negara. Negara-negara seperti Amerika
Serikat, Kanada, Eropa Barat, Jepang, Australia, dan Selandia Baru, anggota OECD,
mendukung pasar dan privatisasi yang kemudian memengaruhi kebijakan-kebijakan
yang diambil oleh Bank Dunia dan IMF.
Para neoklasik berpendapat bahwa pertumbuhan yang lambat atau
negatif merupakan akibat dari lemahnya alokasi risorsis serta adanya intervensi
yang eksesif dari pemerintah LDCs. Mereka berpendapat bahwa adanya pasar bebas
yang kompetitif, privatisasi BUMN, dukungan ekspor dan perdagangan bebas,
liberalisasi perdagangan nilai tukar, penghilangan hambatan bagi perdagangan
luar negeri, pentingnya tabungan domestik, pengurangan pengeluaran pemerintah
dan ekspansi moneter, dan pembatasan regulasi dan distorsi harga dalam
finansial, risorsis, dan pasar komoditas akan mendorong peningkatan efisiensi
dan pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia dan IMF kemudian menunjukkan Korea Selatan,
Singapura, Hong Kong, Malaysia, Thailand, dan Indonesia sebagai contoh
pendekatan pasar bebas, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah
memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut.
Kebijakan Neoklasik terwujud dalam Washington Consensus,
istilah yang dibuat oleh ekonom John Williamson. Konsensus ini mencakup Bank
Dunia, IMF, dan pemerintah Amerika, dan anggota OECD. Beberapa komponen yang
ada dalam Washington Consensus:
Price decontrol. Neoclassicists mendukung kontrol akan
komoditas, faktor, dan harga mata uang.
Fiscal discipline. Defisit anggaran pemerintah atau bank
sentral harus cukup kecil untuk didanai.
Public expenditure priorities. Negara-negara terbelakang
harus mengurangi pengeluaran pemerintah, dan mengarahkan kembali pembiayaan
dari wilayah-wilayah yang sensitif politik (administrasi, pertahanan, dsb.) ke
infrastruktur, kesehatan utama, dan pendidikan.
Tax reform. Ini mencakup perluasan basis pajak, perbaikan
administrasi pajak, penguatan insentif pajak, pengurangan angka marginal pajak,
pengurangan penguapan pajak.
Financial liberalization. Sasarannya adalah adanya nilai uang
yang ditentukan oleh pasar (market-determined interest rates) untuk memperbaiki
efiensi alokasi modal.
Exchange rates. Negara memerlukan nilai (rate) yang seragam,
kompetitif untuk mendorong ekspansi ekspor.
Trade liberalization. LDCs harus menggantikan restriksi
kuantitatif dengan tarif, dan secara progresif mengurangi tarif hingga
tercapainya angka tarif rendah yang seragam (sekitar 10–20%).
Domestic savings. Disiplin fiskal, pemangkasan pengeluaran
pemerintah, reformasi pajak, dan liberalisasi finansial akan mengalihkan
risorsis dari negara kepada sektor privat, dimana angka tabungan menjadi lebih
tinggi. Model pertumbuhan neoklasik menekankan pentingnya tabungan dan formasi
kapital untuk pembangunan ekonomi yang pesat.
Foreign direct investment. Para penganjur neoklasik mendukung
dihapusnya hambatan bagi masuknya perusahaan asing.
Teori Pembangunan
Teori Pembangunan |
10. Privatization. BUMN harus diprivatisasikan.
Deregulation. Pemerintah harus menghilangkan berbagai
regulasi yang menghalangi masuknya perusahaan baru dan menghambat regulasi.
12. Property rights. Sistem legal harus
menyediakan jaminan hak cipta (property rights).
Meskipun beberapa ekonom sepakat dengan perlunya deregulasi
yang selektif, namun para penentang neoklasik merasa para neoklasik gagal
menyadari eksternalitas, barang publik, dan distribusi pendapatan membatasi
ruang lingkup deregulasi. Pemangkasan pengeluaran pemerintah mungkin saja
membuat ekonomi menjadi lesu, dan biasanya memerlukan pengurangan dalam
pendidikan, nutrisi, dan pelayanan sosial. Sekalipun privatisasi dimungkinkan,
pemerintah harus melakukannya secara perlahan-lahan untuk menghindari
konsentrasi elit bisnis secara luas akibat dari proses privatisasi perusahaan
baru yang jatuh ke tangan beberapa orang.
Keterbukaan kepada investasi luar negeri bisa jadi
meningkatkan kekuasaan monopolistik dalam ekonomi dan membatasi peluang bagi
kapitalis domestik untuk belajar dari pengalaman. Liberalisasi perdagangan
cenderung meningkatkan pengangguran, inflasi, dan capital flight. Suatu
negara LDC tertentu mungkin akan menghadapi jebakan ekspor (export trap),
dimana terjadi persaingan antar negara LDC untuk memperluas ekspor. Di sini,
liberalisasi cenderung melukai bagian populasi yang tidak diuntungkan tanpa
menyediakan jaring keamanan (safety nets) bagi kaum miskin.
Neoklasikal umumnya mendukung liberalisasi, suatu “big bang”
yang sifatnya segera atau “shock therapy” ketimbang suatu upaya penyesuaian
yang sifatnya gradual. Pengalaman sejarah di abad ke-19 dan 20, Barat dan
Jepang menunjukkan bahwa liberalisasi ekonomi memerlukan perubahan dalam
institusi ekonomi, yang hanya dapat terjadi melalui proses step by step.
Sumber Bacaan:
1) Budiman, Arif. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia.
2000
2) Nafziger, E. Wayne. Economic Development. Fourth
Edition. Cambridge University Press. 2006.
3) Willis, Katie. 2005. Theories and Practices of
Development. Routledge.
0 Response to "Teori Pembangunan"
Post a Comment