![]() |
Menggali Kembali Meurukon: Dari Tradisi Lisan ke Media Dakwah Modern |
Tradisi lisan di Aceh Utara merupakan bagian penting dari kebudayaan lokal yang mencerminkan identitas masyarakat setempat. Tradisi ini termasuk dalam kategori objek pemajuan kebudayaan yang memerlukan perhatian khusus untuk pelestarian dan pengembangannya. Berikut adalah beberapa aspek utama terkait tradisi lisan di Aceh Utara:
Jenis Tradisi Lisan di Aceh Utara
Sastra Lisan
Ragam Prosa. Bentuk-bentuk sastra lisan seperti dongeng (folktale), mite
(myth), legenda (legends), dan pantun (pantôn) masih
ditemukan di masyarakat Aceh Utara. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun
dan mengandung nilai-nilai luhur serta kearifan lokal. Contoh prosa lisan yang
terkenal adalah cerita rakyat seperti Jugi Tapa, meskipun sebagian
besar belum terdokumentasi secara menyeluruh.
Tradisi
Seumapa. Seumapa adalah tradisi lisan berbentuk pantun yang sering
dipertunjukkan dalam acara pernikahan. Tradisi ini melibatkan interaksi antara petutur dan penonton,
yang merespons dengan sorakan atau tepukan sebagai apresiasi estetika.
Meurukôn. Salah satu bentuk sastra lisan yang mulai
terabaikan, meurukôn dulunya digunakan sebagai media penyampaian pesan moral
dan sosial, tetapi kini jarang ditemukan di Masyarakat.
Tradisi lisan digunakan oleh generasi tua untuk menyampaikan
pelajaran hidup dan nilai-nilai karakter kepada generasi muda. Sastra lisan
menjadi sarana untuk menjaga identitas budaya masyarakat Aceh, termasuk
pengaruh dari budaya Islam yang tercermin dalam penggunaan puisi lisan. Tradisi
seperti seumapa memberikan hiburan sekaligus kepuasan estetis kepada
masyarakat, terutama dalam konteks acara adat seperti pernikahan.
Tradisi lisan Meurukôn adalah salah satu bentuk tradisi lisan
khas Aceh yang berfungsi sebagai media pembelajaran dan diskusi mengenai ajaran
agama Islam. Kata "meurukôn" berasal dari dua kata dalam bahasa Aceh:
"Meu," yang berarti melakukan suatu kegiatan, dan "rukon,"
yang berarti rukun atau asas. Dalam konteks ini, meurukôn dapat diartikan
sebagai kegiatan untuk mempelajari dan mendiskusikan rukun-rukun Islam dan
isu-isu keagamaan lainnya.
Meurukôn biasanya dilakukan dalam bentuk dialog antara dua
kelompok, di mana satu kelompok bertanya dan kelompok lainnya menjawab. Diskusi
ini sering dipandu oleh seorang pembimbing yang disebut syaikhuna, yang
memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Dalam pelaksanaannya, meurukôn
menggunakan syair-syair puitis yang disampaikan secara spontan. Aspek
kesastraan ini memberikan daya tarik tersendiri dan memperkaya pengalaman
belajar bagi para peserta. Meskipun awalnya meurukôn lebih fokus pada
materi-materi agama, seiring perkembangan waktu, tema yang dibahas juga
mencakup isu sosial dan kemasyarakatan. Hal ini menjadikan meurukôn relevan
dalam konteks pendidikan Islam yang lebih luas.
Meurukôn berfungsi sebagai strategi dakwah kultural,
menyampaikan pesan-pesan agama dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat.
Ini membantu menjangkau berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan atas hingga
masyarakat biasa. Sebagai bagian dari warisan budaya Aceh, meurukôn berperan
penting dalam melestarikan tradisi lisan dan nilai-nilai lokal. Namun,
saat ini, keberadaannya menghadapi tantangan akibat modernisasi dan kurangnya
minat generasi muda terhadap tradisi ini.
Secara keseluruhan, meurukôn merupakan tradisi lisan yang kaya akan nilai-nilai pendidikan dan budaya, serta berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat Aceh.
0 Response to "Menggali Kembali Meurukon: Dari Tradisi Lisan ke Media Dakwah Modern"
Post a Comment