Cahaya Nur Sebuah Kebutuhan

 

Annisa Yumaira
Sebuah Lentera

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1  Latar Belakang

Museum Kota Lhokseumawe adalah salah satu Museum berbentuk Rumah Adat Aceh yang memamerkan benda-benda sejarah Aceh, berlokasi di kota Lhokseumawe, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Aceh.

Museum adalah sebuah institusi atau tempat yang didedikasikan untuk mengumpulkan, melestarikan, menyelidiki, memamerkan, dan mengkomunikasikan artefak dan benda-benda penting yang memiliki nilai historis, artistik, budaya, ilmiah, atau edukatif kepada masyarakat umum. Museum juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pemahaman tentang sejarah, budaya, seni, dan ilmu pengetahuan.

Pencahayaan adalah salah satu aspek terpenting dalam mengelola museum. Pengalaman pengunjung untuk menikmati dan memahami pameran dan informasi yang dipajang di museum dapat dipengaruhi secara signifikan oleh pencahayaan yang tepat. Cahaya Nur Sebuah Kebutuhan

Cahaya matahari adalah sumber penerangan alami, Penggunaan pencahayaan alami pada interior museum sangatlah berpengaruh pada bahan pameran seperti memberikan tampilan yang lebih otentik. Kemudian, penggunaan pencahayaan alami dapat membuat ruang terasa nyaman dan berdampak pada suasana hati.

Namun pada kasus ini Museum Rumah Aceh memiliki ukuran bukaan seperti jendela dan pintu yang kecil, yang menyebabkan kurangnya masuknya cahaya matahari ke dalam ruangan. Hal ini dapat mengakibatkan ruangan terasa gelap dan kurang terang, sehingga pengunjung mungkin kesulitan melihat dengan jelas benda-benda pameran atau artefak yang dipajang di dalam museum.

Selain itu, jika ada jendela atau pintu yang memungkinkan masuknya cahaya matahari, desain interior yang tidak memperhitungkan pencahayaan alami dapat menyebabkan masalah penyebaran cahaya yang tidak merata di seluruh ruangan. Beberapa area mungkin terlalu terang, sementara area lain mungkin tetap gelap.

Kekurangan pencahayaan alami ini dapat berdampak negatif pada pengalaman pengunjung di Museum Rumah Aceh. Pengunjung mungkin kesulitan membaca informasi yang tertera pada papan interpretasi, melihat detail-detail halus pada artefak, atau bahkan merasa kurang nyaman di ruangan yang gelap.

Maka dari itu, penting untuk melakukan kajian tingkat pencahayaan alami pada interior Museum Rumah Aceh guna mengoptimalkan pemanfaatan pencahayaan alami yang ada.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi praktis bagi pengelola museum dalam meningkatkan kualitas pencahayaan alami di Museum Rumah Aceh. Rekomendasi tersebut dapat mencakup penggunaan bahan dan perlindungan yang tepat untuk melindungi artefak, pengaturan tata letak benda pameran, dan strategi pengaturan pencahayaan yang efisien dan fleksibel.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini adalah :

1.      Bagaimana pencahayaan alami Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe ini terhadap visualisasi benda-benda pamer? Apakah standar pencahayaan yang ditetapkan SNI 03-6575-2001?

2.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pencahayaan alami di dalam museum ini?

3.      Bagaimana pengaruh luas dan posisi bukaan terhadap kinerja pencahayaan alami pada Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe?

1.3 Tujuan Penelitian

1.      Ingin mengetahui pencahayaan alami pada Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe terhadap visualisasi benda-benda pamer dan ingin mengetahui Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe sudah memenuhi standar pencahayaan yang ditetapkan SNI 03-6575-2001

2.      Ingin mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pencahayaan alami di dalam museum.

3.      Ingin mengetahui luas dan posisi dari bukaan terhadap kinerja pencahayaan alami pada Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe dengan melakukan simulasi menggunakan aplikasi software Velux Daylight

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini meliputi :

1.   Dapat meningkatkan pencahayaan bagi interior Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe serta dapat memenuhi standar-standar pencahayaan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)

2.   Dapat menjadi pertimbangan dalam Merancang tata letak dan pencahayaan yang tepat di Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe.

3.   Sebagai tambahan referensi penelitian tentang studi kasus terhadap penelitian yang sejenis

1.5 Batasan Penelitian

Batas Penelitian terfokus pada:

1.      Tingkat pencahayaan alami pada Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe dan faktor yang mempengaruhi Tingkat Pencahayaan tersebut

2.      Lingkup area

Objek studi yang dipilih adalah Bangunan Rumah Aceh yang fungsikan menjadi Museum ruang pamer di Kota Lhokseumawe

3.      Titik ukur yang akan dilakukan pada Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe yaitu Ruang Pamer 1, Ruang Pamer 2, Ruang Pamer 4, dan juga Ruang Pamer 5

4.      Pengukuran iluminasi pencahayaan di lapangan akan dilakukan setiap 1 jam yang dimulai dari pukul 10.00-16.00 WIB dengan menggunakan alat Digital Lux Meter AS803. Pengukuran ini dilaksanakan pada tanggal 02 Januari 2023 selama 5 hari berturut-turut

5.      Pengukuran nilai daylight factor (DF) akan disimulasikan menggunakan aplikasi Velux Daylight visualizer 3.0. Simulasi dilakukan pada tanggal _ dan bertepatan pada pukul 12.00 siang. Hal ini berdasakan ketentuan dari aplikasi Velux daylight Visualizer 3.0.

6.      Sasaran pada pengukuran tingkat intensitas pencahayaan ialah untuk mendapatkan pencahayaan alamiyang optimal melalui pengukuran lapangan dan pengukuran nilai daylight factor (DF) berdasarkan standar pencahayaan yang direkomendasikan.


 

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan untuk mempermudah pemahaman dan penelaahan penelitian. Dalam laporan penelitian ini, masing-masing uraian yang secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut:

BAB I                      PENDAHULUAN
Dalam bab ini merupakan pendahuluan yang materinya sebagian besar menyempurnakan usulan penelitian yang berisikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II                     TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini menguraikan teori-teori yang mendasari pembahasan secara terpirinci yang memuat tentang sejarah gayo, bahasa gayo, arsitektur tradisional, tipologi, dan geometri yang digunakan sebagai dasar untuk menganalisis data-data yang diperoleh.

BAB III                   METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini berisikan tentang pengembangan metodologi yang terdiri dari kerangka pemikiran, sumber data, dan metode analisis data.

BAB IV                   HASIL DAN PEMBAHASAN                                    

Dalam bab ini merupakan uraian dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan kemudian dianalisis sehingga memperoleh hasil dari penelitian tersebut.

BAB V                        KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan, dan rekomendasi berupa saran dari peneliti ke depannya terhadaptemuan hasil yang didapat dalam penelitian.

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN      PUSTAKA

2.1 Pencahayaan

Gelombang elektromagnetik yang dikenal sebagai cahaya dapat dilihat dengan mata. Energi dipancarkan oleh sumber cahaya, dan sebagian dari energi ini diubah menjadi cahaya tampak. Gelombang elektromagnetik memungkinkan pergerakan cahaya melalui ruang kosong. Intensitas cahaya yang dipancarkan ke segala arah diukur dalam kandelas. Objek cahaya yang jatuh akan diperjelas oleh keluaran lumen sumber cahaya. Lumens yang jatuh di kaki persegi permukaan (ft2) diukur sebagai iluminasi. Footcandle digunakan untuk mengukur iluminasi.

Norbert Lechner (2007) Jumlah cahaya yang dipantulkan permukaan benda ke mata manusia dikenal sebagai luminositas. Kecerahan suatu objek tergantung pada beberapa faktor, termasuk pencahayaan, posisi geometris pengamat yang mengacu pada sumber cahaya, spekularitas objek, atau pantulan, warna, dan pantulan seperti cermin.\

 

2.1.1

Menurut Lam (1977) Sistem pencahayaan alami perlu ditata dengan baik sedemikian rupa guna membantu manusia memperoleh kenyamanan dalam melakukan aktivitasnya. Memasukkan cahaya alami merupakan bagian paling utama pada disain pencahayaan alami (daylighting design). Upaya ini kelihatanya sangat mudah, meski kenyataannya tidaklah sesederhana yang terlihat. Memasukkan cahaya tidak semata-mata membuat akses cahaya dari ruang luar ke ruang dalam, membuat bukaan sebesar-besarnya atau memasang bidang transparan yang seluas-luasnya agar cahaya dapat masuk dengan leluasa. Cara pandang ini tentu bukan pendekatan disain yang tepat, karena bukan kuantitas semata yang menjadi pertimbangan, (tapi) kualitas cahaya serta berbagai faktor lain pun harus di perhatikan. Penerangan yang baik akan membantu kita mengerjakan dan membuat kita merasa nyaman ketika mengerjakannya. Walaupun terkesan sederhana, pernyataan ini merupakan tujuan dari lighting design, yaitu mencaiptakan kenyamanan, suasana yang menyenangkan, dan ruang yang fungsional bagi stiap orang di dalamnya.

Steffi Julia Soegandhi (2015) mengatakan Cahaya matahari sangat disukai sebagai sumber cahaya karena manusia dapat bekerja dengan baik dengan pencahayaan alami tersebut. Kualitas cahaya yang tidak baik akan berpengaruh pada suasana atmosfer ruang, menimbulkan tekanan psikologis pada pengguna dan gangguan penglihatan yang berdampak pada kesehatan. Sistem pencahayaan juga dipengaruhi oleh fasad bangunan, Bentuk, ukuran dan lokasi bukaan memberikan efek yang penting tidak hanya pada pencahayaan interior tetapi juga pada penampilan luar bangunan. Pencahayaan yang terencana dengan baik akan mampu mendukung kebutuhan penglihatan di dalam ruang sesuai dengan jenis aktivitas yang dilakukan.

Yuniar, dkk (2014) pencahayaan alami dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu desain bukaan jendela, bentuk dan kedalaman ruang, kenyamanan visual, dan faktor eksternal. Ukuran cahaya dan terang yang dibutuhkan oleh seseorang untuk beraktivitas tergantung dari macam kerja yang seseorang lakukan di ruangan. Kebutuhan orang-orang kantor seperti menulis, membaca untuk waktu lama, menatap layar komputer atau laptop, dan bahkan untuk berdiskusi di ruangan rapat, semua itu membutuhkan ukuran cahaya atau terang yang berbeda-beda. Pada area kerja membutuhkan tingkat kenyamanan yang memadai agar pengguna di dalamnya dapat melakukan aktivitas dengan lancar dan memiliki produktivitas kerja yang baik. Kenyamanan visual didalam ruangan yang bersumber dari pencahayaan dipengaruhi oleh jumlah, ukuran dan penempatan bukaan/jendela.

2.1.2 Sumber Pencahayaan

Menurut Rahim (2012), Dua bentuk sumber pencahayaan yang paling umum digunakan sebagai alat adalah pencahayaan alami dan pencahayaan buatan. Sebagai pengganti pencahayaan buatan, pencahayaan alami memanfaatkan sinar matahari untuk mencerahkan ruang. Matahari dan semua benda terang di bawah sinar matahari adalah sumber utama pencahayaan alami. penggunaan moderasi Kegiatan alami berlangsung sepanjang hari, dan stabilitas cahaya berfluktuasi. Cahaya alami memiliki berbagai tingkat intensitas cahaya. Cahaya alami yang bekerja sangat intens, terutama di siang hari, yang menyebabkan panas dan silau. Karena intensitas cahaya sangat rendah di malam hari, biasanya tidak mungkin menggunakannya untuk menerangi ruangan.

Pencahayaaan Alami secara umum dibagi menjadi dua:

1.      Sunlight

Cahaya Matahari langsung, yang umumnya memiliki intensitas tinggi dan sudut penyebaran cahaya yang sempit. Pencahayaan jenis ini perlu di control agar tetap terkendali dantidak menimbulkan silau serta radiasi panas yang tinggi.

2.      Daylight

Cahaya matahari yang tidak langsung, dipancarkan oleh partikel-partikel atsmosfer, juga awan, dengan intensitas yang sedang sampai ke rendah dan sudut penyebaran cahaya yang lebar. Cahaya jenis ini sering dipilih untuk digunakan sebagai pencahayaan alami dalam sebuah bangunan, dikarenakan tidak terlalu menimbulkan silau atau radiasi panas yang tinggi.

Pencahayaan buatan merupakan pencahyaan yang berasal dari sumber cahaya selain cahaya alami. Ketika cahaya alami tidak cukup untuk berfungsi sebagai sumber utama penerangan, pencahayaan buatan diperlukan.

2.1.2 Pencahayaan Alami

Pencahayaan alami adalah pencahayaan yang bersumber langsung dari cahaya sinar matahari. Dalam penelitian Masruchin, F, B. (2016), terdapat dua pandangan utama terkait definisi dan ruang lingkup pencahayaan alami, yaitu:

a.         Pencahayaan alami adalah salah satu metode pasif pemanfaatan sinar untuk pencahayaan bangunan terutama pada siang hari.

b.         Pencahayaan alami merupakan teknologi dinamis yang mempertimbangkan beban panas, kesilauan, variasi dari ketersediaan cahaya dan penetrasi cahaya cahaya matahari kedalam bangunan.

            Pada penelitian ini, definisi pencahayaan alami lebih mengarah kepada pendapat yang pertama. Hal ini dikarenakan definisi pengertian tersebut lebih mengarah terhadap tujuan penelitian yang diharapkan dan lebih mementingkan terhadap aspek fungsi cahaya alami. Sedangkan pendapat definisi pencahayaan alami yang kedua, lebih menuju terhadap aspek konsumsi energi pada bangunan dengan cara meminimalisir beban panas.

Menurut Lechner (2009), daylight factor (DF) merupakan rasio iluminasi pencahayaan di dalam dan luar ruangan pada saat kondisi langit mendung (overcast) yang dinyatakan dalam satuan persentase. Daylight factor juga dapat dijadikan sebagai indikasi terhadap efektivitas desain terhadap kondisi pencahayaan alami di dalam ruangan pada saat siang hari. Menurut SNI 03-2396- 2001 (2001), ada beberapa faktor komponen yang harus diperhatikan terhadap pencahayaan alami, diantaranya sebagai berikut:

a.       Komponen langit (faktor langit)

Komponen langit merupakan pencahayaan yang langsung dari langit

b.      Komponen refleksi luar (faktor refleksi luar)

Komponen refleksi luar merupakan komponen diakibatkan oleh pantulan objek pada sekeliling bangunan.

c.       Komponen refleksi dalam(faktor refleksi dalam)

Komponen refleksi dalam merupakan komponen diakibatkan oleh pantulan objek dalam sebuah ruangan.

2.1.3 Pencahayaan Buatan

Secara umum pencahayaan yang dihasilkan oleh penerangan ruang dapat digolongkan dalam 5 kategori :

1.    Pencahayaan tidak langsung (Indirect Lighting)

2.    Pencahayaan semi tidak langsung (Semi Indirect Lighting)

3.    Pencahayaan langsung tidak langsung (Direct – Indirect Lightning)

4.    Pencahayaan setengah langsung (Semi Direct Lighting)

5.    Pencahayaan langsung (Direct Lighting)

2.1.4 Sistem Pencahayaan

Buku fisika Bangunan 2 (2015) menyatakan bahwa sistem pencahayaan dapat dibagi ke dalam kategori berikut:

1.    General Lightning

Sistem pencahayaan ini memberikan tingkat pencahayaan yang seragam dan merata di seluruh ruangan. Sistem ini digunakan ketika ruangan membutuhkan tingkat pencahayaan yang sama. Tingkat pencahayaan yang merata diperoleh dengan memasang angker yang seragam dan didistribusikan secara merata di langit-langit. Bahkan pengaturan perlengkapan dan lampu mencegah silau.

2.    Localized Lighting

Sistem ini menawarkan pencahayaan yang tidak merata di seluruh area kerja. Menurut persyaratan visual dari bidang pekerjaan yang diberikan, tingkat pencahayaan disediakan. Dengan memfokuskan angker pada langit-langit di atas area kerja, ini tercapai. Meskipun tetap memenuhi persyaratan praktis ruang, intensitas pencahayaan tidak boleh berlebihan.

3.    Sistem Pencahayaan gabungan

Sistem ini dapat dicapai debgab system pencahyaan setempat pada system pencahyaan merata.

2.2 Faktor Pencahayaan Alami

            Menurut Lechner (2009), daylight factor (DF) merupakan rasio iluminasi pencahayaan di dalam dan luar ruangan pada saat kondisi langit mendung (overcast) yang dinyatakan dalam satuan persentase. Daylight factor juga dapat dijadikan sebagai indikasi terhadap efektivitas desain terhadap kondisi pencahayaan alami di dalam ruangan pada saat siang hari. Menurut SNI 03-2396- 2001 (2001), ada beberapa faktor komponen yang harus diperhatikan terhadap pencahayaan alami, diantaranya sebagai berikut:

a.       Komponen langit (faktor langit)

Komponen langit merupakan pencahayaan yang langsung dari langit

b.      Komponen refleksi luar (faktor refleksi luar)

Komponen refleksi luar merupakan komponen pencahayaan yang diakibatkan oleh pantulan objek pada sekeliling bangunan.

c.       Komponen refleksi dalam (faktor refleksi dalam)

Komponen refleksi dalam merupakan komponen pencahayaan yang diakibatkan oleh pantulan objek dalam sebuah ruangan. Daylight factor biasanya diukur pada bidang kerja dengan ketinggian 0,7 – 0,8 m di atas lantai. Semakin tinggi DF, maka semakin banyak cahaya matahari yang tersedia di dalam ruangan. DF yang memiliki rata-rata 5%, maka ruangan akan terlihat sangat terang dan kemungkinan besar kebutuhan pencahayaan buatan tidak dibutuhkan

2.3 Kondisi Langit

Menurut Ander dalam Masruchin, F, B. (2016), kondisi langit yang menggambarkan tingkat iluminasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

a.       Clear Sky

Clear sky adalah kondisi dimana kubah langit tidak lebih dari 30% terhalang awan dengan kondisi langit paling terang dibandingkan yang lainnya dan cahaya lebih terang di horizon daripada di zenith. Pada literatur lain, clear sky di iklim tropis dapat mencapai 100 klux atau 100.000 lux.

b.      Cloudy Sky

Cloudy sky merupakan kondisi langit paling redup dengan 30-80% langit tertutup awan.Variasi luminasi suatu area dapat berubah dengan cepat akibat adanya pergerakan awan.

c.       Overcast Sky

Overcast sky merupakan kondisi langit yang umumnya bersifat seragam dengan cahaya lebih kuat tiga kali lebih terang di zenith (titik di angkasa yang berada langsung di atas kepala pengamat) daripada horizon. Tingkat iluminasi overcast sky terkadang bervariasi dimana tergantung dari tingkat kepadatan awan dan ketinggian matahari. Kuat pencahayaan yang dihasilkan oleh kondisi langit overcast dapat mencapai 5000-20.000 lux. Pada penelitian ini, objek penelitian berada pada daerah beriklim tropis lembab yang secara umum memiliki kondisi langit overcast dengan cloud cover b antara 60-90% dengan nilai iluminasi langit mencapai 10.000 lux.

2.4       Standar Iluminasi Ruang Museum

  1. Tingkat pencahayaan.

Tingkat pencahayaan yang dianjurkan untuk ruang museum berkisar antara 150 hingga 300 lux. Namun, untuk karya seni yang sensitif terhadap cahaya, seperti lukisan tua, ukiran kayu, atau tekstil, tingkat pencahayaan yang lebih rendah mungkin lebih sesuai.

  1. Pengaturan Jendela

Jendela atau pintu kaca yang ada di museum rumah adat cukup besar dan memadai untuk memungkinkan cahaya alami masuk secara optimal. Jika memungkinkan, pertimbangkan untuk menggunakan bahan kaca transparan atau bahan lain yang dapat menyerap radiasi ultraviolet (UV) yang merusak.

  1. Distribusi Cahaya

Perhatikan penyebaran cahaya alami di seluruh ruang museum. Jangan biarkan ada area yang terlalu terang atau terlalu gelap. Penggunaan reflektor atau cermin cahaya dapat membantu memantulkan cahaya ke area yang kurang terjangkau oleh cahaya alami.

  1. Pemantulan Cahaya

Pilih material lantai, dinding, dan langit-langit yang dapat memantulkan cahaya alami dengan baik. Dengan memilih warna dan bahan yang cerah dan reflektif, Anda dapat meningkatkan distribusi cahaya di seluruh ruangan.

  1. Pengendalian Cahaya Buatan

Selain pencahayaan alami, Anda mungkin perlu menggunakan pencahayaan buatan untuk mengisi area yang kurang terjangkau oleh cahaya alami atau untuk menciptakan efek pencahayaan yang khusus. Pastikan pencahayaan buatan yang digunakan memperhatikan karakteristik artefak dan tidak merusaknya..

2.5 Museum

Museum adalah tempat di mana artefak budaya, sejarah, seni, atau ilmiah dilestarikan, dipelajari, dan ditampilkan untuk masyarakat umum. Benda-benda dengan kepentingan sejarah, arkeologi, artistik, atau ilmiah sering ditemukan di museum. Fungsi utama museum adalah untuk melayani sebagai gudang warisan budaya dan catatan sejarah manusia. Selain itu, museum sangat penting untuk penelitian, pengajaran, dan pameran publik. Pengunjung mendapatkan kesempatan untuk belajar tentang berbagai mata pelajaran, memahami perkembangan manusia dan peradaban, dan mengagumi seni dan karya kreatif.

Sejarah alam, seni rupa, sejarah manusia, sains, teknologi, etnografi, arkeologi, dan mata pelajaran lainnya hanyalah beberapa spesialisasi yang dapat dikejar museum. Beberapa museum memiliki koleksi yang sangat besar, sementara yang lain berkonsentrasi pada aspek tertentu dari suatu subjek.

Selain itu, museum dapat mengakomodasi acara-acara unik seperti konferensi, lokakarya, pameran sementara, atau pertunjukan artistik. Mereka juga dapat menawarkan layanan pendidikan termasuk kursus pelatihan, kunjungan, dan kesempatan belajar lainnya. Tujuan utama museum adalah untuk membuat pengetahuan dan warisan budaya dapat diakses oleh masyarakat umum dan untuk mempromosikan pemikiran kritis, penghargaan, dan pemahaman tentang semua aspek kehidupan manusia.

2.6 Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumwe

Museum kota lhokseumawe dibangun pada tahun 2014 di kelola Oleh Bidang Kebudayaan yang waktu itu ada di bawah Dinas Perhubungan, Pariwisata Dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe. Pada tahun 2017 Bidang Kebudayaan Bergabung Dengan Dina Pendidikan Dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe, dan Museum Kota Lhokseumawe juga secara otomatis pengelolaannya ada pada dinas pendidikan dan kebudayaan kota lhokseumawe.

Museum Kota Lhokseumawe diresmikan oleh Bapak Suadi Yahya selaku Walikota Lhokseumawe pada hari Jum’at Tanggal 18 Oktober 2019, dan merupakan awal mulainya sejarah baru untuk Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe dalam menata pengelolaan koleksi benda sejarah ada di Kota Lhokseumawe.

Museum Kota Lhokseumawe berada di lahan seluas 6163 m2 dan berfungsi sebagai tempat memajang benda bersejarah khas Aceh, kepada masyarakat umum. Dengan luas bangunan 300 m2. Arsitektur tradisional Rumoh Aceh inilah yang mendefinisikan gaya arsitektur rumah panggung baik material, struktur bentuk bangunan, ornamen, dan orientasi bangunan semuanya sama persis dengan yang digunakan pada museum. Oleh karenanya, jika strukturnya adalah museum, ia tidak memiliki fitur khas dan menciptakan ketidak pastian mengenai bentuk struktur.

Museum Kota Lhokseumawe terdiri dari 2 lantai sesuai konsep rumah panggung yang masing-masing lantai memiliki luas 150 m2. Elemen arsitektur hamper keseluruhannya menggunakan material kayu dari kolom, balok, lantai dinding serta kuda-kuda atap. Namun pada kolom Rumah bermaterialkan Keramik juga menggunakan daun rumbia sebagai material atapnya.

2.6.1 Klasifikasi Ruang

Museum Rumoh Aceh terbagi atas dua fasilitas ruang yaitu ruang pameran dalam dan ruang pameran luar. Bangunan Rumoh Aceh merupakan ruang pameran inti, memiliki enam ruang pamer yang menjadi tempat menyimpan,  serta memajang koleksi benda bersejarah Aceh.

Ruang pamer luar terdiri dari 5 objek pamer. Kemudian terdapat fasilitas pendukung seperti taman, area parker, panggung, dan juga area bermain anak.

Penulis : Annisa Yumaira

Related Posts :

0 Response to "Cahaya Nur Sebuah Kebutuhan"