![]() |
Sebuah Lentera |
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1
Latar Belakang
Museum
Kota Lhokseumawe adalah salah
satu Museum berbentuk Rumah Adat Aceh yang memamerkan benda-benda sejarah Aceh,
berlokasi di kota Lhokseumawe, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Aceh.
Museum adalah sebuah institusi atau
tempat yang didedikasikan untuk mengumpulkan, melestarikan, menyelidiki,
memamerkan, dan mengkomunikasikan artefak dan benda-benda penting yang memiliki
nilai historis, artistik, budaya, ilmiah, atau edukatif kepada masyarakat umum.
Museum juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pemahaman tentang sejarah,
budaya, seni, dan ilmu pengetahuan.
Pencahayaan
adalah salah satu aspek terpenting dalam mengelola museum. Pengalaman
pengunjung untuk menikmati dan memahami pameran dan informasi yang dipajang di
museum dapat dipengaruhi secara signifikan oleh pencahayaan yang tepat. Cahaya Nur Sebuah Kebutuhan
Cahaya
matahari adalah sumber penerangan alami, Penggunaan pencahayaan alami pada
interior museum sangatlah berpengaruh pada bahan pameran seperti memberikan tampilan
yang lebih otentik. Kemudian, penggunaan pencahayaan alami dapat membuat ruang
terasa nyaman dan berdampak pada suasana hati.
Namun
pada kasus ini Museum Rumah Aceh memiliki ukuran bukaan
seperti jendela dan pintu yang kecil, yang
menyebabkan kurangnya masuknya cahaya matahari ke dalam ruangan. Hal ini dapat
mengakibatkan ruangan terasa gelap dan kurang terang, sehingga pengunjung
mungkin kesulitan melihat dengan jelas benda-benda pameran atau artefak yang
dipajang di dalam museum.
Selain itu, jika ada jendela atau pintu yang memungkinkan
masuknya cahaya matahari, desain interior yang tidak memperhitungkan pencahayaan
alami dapat menyebabkan masalah penyebaran cahaya yang tidak merata di seluruh
ruangan. Beberapa area mungkin terlalu terang, sementara area lain mungkin
tetap gelap.
Kekurangan pencahayaan alami ini dapat berdampak negatif
pada pengalaman pengunjung di Museum Rumah Aceh. Pengunjung mungkin kesulitan
membaca informasi yang tertera pada papan interpretasi, melihat detail-detail
halus pada artefak, atau bahkan merasa kurang nyaman di ruangan yang gelap.
Maka
dari itu, penting untuk melakukan kajian tingkat pencahayaan alami pada
interior Museum Rumah Aceh guna mengoptimalkan pemanfaatan pencahayaan alami
yang ada.
Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi praktis bagi pengelola
museum dalam meningkatkan kualitas pencahayaan alami di Museum Rumah Aceh.
Rekomendasi tersebut dapat mencakup penggunaan bahan dan perlindungan yang
tepat untuk melindungi artefak, pengaturan tata letak benda pameran, dan
strategi pengaturan pencahayaan yang efisien dan fleksibel.
1.2 Rumusan
Permasalahan
Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka yang
menjadi rumusan permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana
pencahayaan alami Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe ini terhadap visualisasi
benda-benda pamer? Apakah standar pencahayaan yang ditetapkan SNI 03-6575-2001?
2.
Apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat pencahayaan alami di dalam museum ini?
3.
Bagaimana pengaruh
luas dan posisi bukaan terhadap kinerja pencahayaan alami pada Museum Rumah Aceh Kota
Lhokseumawe?
1.3 Tujuan Penelitian
1.
Ingin mengetahui
pencahayaan alami pada Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe terhadap visualisasi
benda-benda pamer dan ingin mengetahui Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe sudah
memenuhi standar pencahayaan yang ditetapkan SNI 03-6575-2001
2.
Ingin mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pencahayaan alami di dalam museum.
3. Ingin mengetahui luas dan posisi dari bukaan terhadap
kinerja pencahayaan alami pada Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe dengan melakukan
simulasi menggunakan aplikasi software Velux Daylight
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian ini meliputi :
1. Dapat meningkatkan pencahayaan bagi interior Museum
Rumah Aceh Kota Lhokseumawe serta dapat memenuhi standar-standar pencahayaan
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
2.
Dapat menjadi
pertimbangan dalam Merancang tata
letak dan pencahayaan yang tepat di Museum Rumah Aceh Kota Lhokseumawe.
3.
Sebagai tambahan
referensi penelitian tentang studi kasus terhadap penelitian yang sejenis
1.5 Batasan Penelitian
Batas Penelitian terfokus pada:
1. Tingkat pencahayaan alami pada Museum Rumah Aceh Kota
Lhokseumawe dan faktor yang mempengaruhi Tingkat Pencahayaan tersebut
2. Lingkup area
Objek
studi yang dipilih adalah Bangunan Rumah Aceh yang fungsikan menjadi Museum
ruang pamer di Kota Lhokseumawe
3. Titik ukur yang akan dilakukan pada Museum Rumah Aceh
Kota Lhokseumawe yaitu Ruang Pamer 1, Ruang Pamer 2, Ruang Pamer 4, dan juga
Ruang Pamer 5
4. Pengukuran iluminasi pencahayaan di lapangan akan
dilakukan setiap 1 jam yang dimulai dari pukul 10.00-16.00 WIB dengan
menggunakan alat Digital Lux Meter AS803. Pengukuran ini dilaksanakan pada
tanggal 02 Januari 2023 selama 5 hari berturut-turut
5. Pengukuran nilai daylight
factor (DF) akan disimulasikan menggunakan aplikasi Velux Daylight visualizer 3.0. Simulasi dilakukan pada tanggal _
dan bertepatan pada pukul 12.00 siang. Hal ini berdasakan ketentuan dari
aplikasi Velux daylight Visualizer 3.0.
6. Sasaran pada pengukuran tingkat intensitas pencahayaan
ialah untuk mendapatkan pencahayaan alamiyang optimal melalui pengukuran
lapangan dan pengukuran nilai daylight
factor (DF) berdasarkan standar pencahayaan yang direkomendasikan.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan
bertujuan untuk mempermudah pemahaman dan penelaahan penelitian. Dalam laporan
penelitian ini, masing-masing uraian yang secara garis besar dapat dijelaskan
sebagai berikut:
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam bab ini merupakan pendahuluan yang materinya sebagian besar
menyempurnakan usulan penelitian yang berisikan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini menguraikan teori-teori yang mendasari pembahasan secara
terpirinci yang memuat tentang sejarah gayo, bahasa gayo, arsitektur
tradisional, tipologi, dan geometri yang digunakan sebagai dasar untuk
menganalisis data-data yang diperoleh.
BAB
III METODOLOGI
PENELITIAN
Dalam bab ini berisikan tentang pengembangan metodologi yang terdiri dari
kerangka pemikiran, sumber data, dan metode analisis data.
BAB
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam
bab ini merupakan uraian dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan
kemudian dianalisis sehingga memperoleh hasil dari penelitian tersebut.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan, dan
rekomendasi berupa saran dari peneliti ke depannya terhadaptemuan hasil yang
didapat dalam penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencahayaan
Gelombang
elektromagnetik yang dikenal sebagai cahaya dapat dilihat dengan mata. Energi
dipancarkan oleh sumber cahaya, dan sebagian dari energi ini diubah menjadi
cahaya tampak. Gelombang elektromagnetik memungkinkan pergerakan cahaya melalui
ruang kosong. Intensitas cahaya yang dipancarkan ke segala arah diukur dalam
kandelas. Objek cahaya yang jatuh akan diperjelas oleh keluaran lumen sumber
cahaya. Lumens yang jatuh di kaki persegi permukaan (ft2) diukur sebagai
iluminasi. Footcandle digunakan untuk mengukur iluminasi.
Norbert Lechner (2007) Jumlah cahaya yang
dipantulkan permukaan benda ke mata manusia dikenal sebagai luminositas.
Kecerahan suatu objek tergantung pada beberapa faktor, termasuk pencahayaan,
posisi geometris pengamat yang mengacu pada sumber cahaya, spekularitas objek,
atau pantulan, warna, dan pantulan seperti cermin.\
2.1.1
Menurut Lam (1977) Sistem
pencahayaan alami perlu ditata dengan baik sedemikian rupa guna membantu
manusia memperoleh kenyamanan dalam melakukan aktivitasnya. Memasukkan cahaya
alami merupakan bagian paling utama pada disain pencahayaan alami (daylighting
design). Upaya ini kelihatanya sangat mudah, meski kenyataannya tidaklah
sesederhana yang terlihat. Memasukkan cahaya tidak semata-mata membuat akses
cahaya dari ruang luar ke ruang dalam, membuat bukaan sebesar-besarnya atau
memasang bidang transparan yang seluas-luasnya agar cahaya dapat masuk dengan
leluasa. Cara pandang ini tentu bukan pendekatan disain yang tepat, karena
bukan kuantitas semata yang menjadi pertimbangan, (tapi) kualitas cahaya serta
berbagai faktor lain pun harus di perhatikan. Penerangan yang baik akan
membantu kita mengerjakan dan membuat kita merasa nyaman ketika mengerjakannya.
Walaupun terkesan sederhana, pernyataan ini merupakan tujuan dari lighting
design, yaitu mencaiptakan kenyamanan, suasana yang menyenangkan, dan ruang
yang fungsional bagi stiap orang di dalamnya.
Steffi
Julia Soegandhi (2015) mengatakan Cahaya matahari sangat
disukai sebagai sumber cahaya karena manusia dapat bekerja dengan baik dengan
pencahayaan alami tersebut. Kualitas
cahaya yang tidak baik akan berpengaruh pada suasana atmosfer ruang,
menimbulkan tekanan psikologis pada pengguna dan gangguan penglihatan yang
berdampak pada kesehatan. Sistem pencahayaan juga dipengaruhi oleh fasad bangunan,
Bentuk, ukuran dan lokasi bukaan memberikan efek yang penting tidak hanya
pada pencahayaan interior tetapi juga pada penampilan luar bangunan. Pencahayaan yang
terencana dengan baik akan mampu mendukung kebutuhan penglihatan di dalam ruang
sesuai dengan jenis aktivitas yang dilakukan.
Yuniar, dkk (2014) pencahayaan alami
dipengaruhi oleh
beberapa variabel
yaitu desain bukaan jendela, bentuk dan kedalaman ruang, kenyamanan visual, dan
faktor eksternal. Ukuran
cahaya dan terang yang dibutuhkan oleh seseorang untuk beraktivitas tergantung
dari macam kerja yang seseorang lakukan di ruangan. Kebutuhan orang-orang
kantor seperti menulis, membaca untuk waktu lama, menatap layar komputer atau
laptop, dan bahkan untuk berdiskusi di ruangan rapat, semua itu membutuhkan
ukuran cahaya atau terang yang berbeda-beda. Pada area kerja membutuhkan
tingkat kenyamanan yang memadai agar pengguna di dalamnya dapat melakukan
aktivitas dengan lancar dan memiliki produktivitas kerja yang baik. Kenyamanan
visual didalam ruangan yang bersumber dari pencahayaan dipengaruhi oleh jumlah,
ukuran dan penempatan bukaan/jendela.
2.1.2 Sumber Pencahayaan
Menurut Rahim (2012), Dua
bentuk sumber pencahayaan yang paling umum digunakan sebagai alat adalah
pencahayaan alami dan pencahayaan buatan. Sebagai pengganti pencahayaan buatan,
pencahayaan alami memanfaatkan sinar matahari untuk mencerahkan ruang. Matahari
dan semua benda terang di bawah sinar matahari adalah sumber utama pencahayaan
alami. penggunaan moderasi Kegiatan alami berlangsung sepanjang hari, dan
stabilitas cahaya berfluktuasi. Cahaya alami memiliki berbagai tingkat
intensitas cahaya. Cahaya alami yang bekerja sangat intens, terutama di siang
hari, yang menyebabkan panas dan silau. Karena intensitas cahaya sangat rendah
di malam hari, biasanya tidak mungkin menggunakannya untuk menerangi ruangan.
Pencahayaaan Alami
secara umum dibagi menjadi dua:
1. Sunlight
Cahaya Matahari langsung,
yang umumnya memiliki intensitas tinggi dan sudut penyebaran cahaya yang sempit.
Pencahayaan jenis ini perlu di control agar tetap terkendali dantidak
menimbulkan silau serta radiasi panas yang tinggi.
2. Daylight
Cahaya matahari yang
tidak langsung, dipancarkan oleh partikel-partikel atsmosfer, juga awan, dengan
intensitas yang sedang sampai ke rendah dan sudut penyebaran cahaya yang lebar.
Cahaya jenis ini sering dipilih untuk digunakan sebagai pencahayaan alami dalam
sebuah bangunan, dikarenakan tidak terlalu menimbulkan silau atau radiasi panas
yang tinggi.
Pencahayaan
buatan merupakan pencahyaan yang berasal dari sumber cahaya selain cahaya
alami. Ketika cahaya alami tidak cukup untuk berfungsi sebagai sumber utama
penerangan, pencahayaan buatan diperlukan.
2.1.2 Pencahayaan Alami
Pencahayaan alami
adalah pencahayaan yang bersumber langsung dari cahaya sinar matahari. Dalam
penelitian Masruchin, F, B. (2016), terdapat dua pandangan utama terkait definisi
dan ruang lingkup pencahayaan alami, yaitu:
a.
Pencahayaan
alami adalah salah satu metode pasif pemanfaatan sinar untuk pencahayaan bangunan
terutama pada siang hari.
b.
Pencahayaan
alami merupakan teknologi dinamis yang mempertimbangkan beban panas, kesilauan,
variasi dari ketersediaan cahaya dan penetrasi cahaya cahaya matahari kedalam
bangunan.
Pada
penelitian ini, definisi pencahayaan alami lebih mengarah kepada pendapat yang
pertama. Hal ini dikarenakan definisi pengertian tersebut lebih mengarah
terhadap tujuan penelitian yang diharapkan dan lebih mementingkan terhadap
aspek fungsi cahaya alami. Sedangkan pendapat definisi pencahayaan alami yang
kedua, lebih menuju terhadap aspek konsumsi energi pada bangunan dengan cara
meminimalisir beban panas.
Menurut Lechner (2009), daylight factor
(DF) merupakan rasio iluminasi pencahayaan di dalam dan luar ruangan pada saat
kondisi langit mendung (overcast) yang dinyatakan dalam satuan persentase.
Daylight factor juga dapat dijadikan sebagai indikasi terhadap efektivitas
desain terhadap kondisi pencahayaan alami di dalam ruangan pada saat siang
hari. Menurut SNI 03-2396- 2001 (2001), ada beberapa faktor komponen yang harus
diperhatikan terhadap pencahayaan alami, diantaranya sebagai berikut:
a.
Komponen langit
(faktor langit)
Komponen
langit merupakan pencahayaan yang langsung dari langit
b.
Komponen
refleksi luar (faktor refleksi luar)
Komponen refleksi luar merupakan komponen diakibatkan
oleh pantulan objek pada sekeliling bangunan.
c.
Komponen
refleksi dalam(faktor refleksi dalam)
Komponen refleksi dalam merupakan komponen diakibatkan oleh pantulan
objek dalam sebuah ruangan.
2.1.3 Pencahayaan Buatan
Secara umum pencahayaan
yang dihasilkan oleh penerangan ruang dapat digolongkan dalam 5 kategori :
1. Pencahayaan tidak langsung (Indirect Lighting)
2. Pencahayaan semi tidak langsung (Semi Indirect Lighting)
3. Pencahayaan langsung tidak langsung (Direct – Indirect Lightning)
4. Pencahayaan setengah langsung (Semi Direct Lighting)
5. Pencahayaan langsung (Direct Lighting)
2.1.4 Sistem Pencahayaan
Buku
fisika Bangunan 2 (2015) menyatakan bahwa sistem pencahayaan dapat dibagi ke
dalam kategori berikut:
1. General
Lightning
Sistem pencahayaan ini
memberikan tingkat pencahayaan yang seragam dan merata di seluruh ruangan.
Sistem ini digunakan ketika ruangan membutuhkan tingkat pencahayaan yang sama.
Tingkat pencahayaan yang merata diperoleh dengan memasang angker yang seragam
dan didistribusikan secara merata di langit-langit. Bahkan pengaturan
perlengkapan dan lampu mencegah silau.
2. Localized
Lighting
Sistem ini menawarkan
pencahayaan yang tidak merata di seluruh area kerja. Menurut persyaratan visual
dari bidang pekerjaan yang diberikan, tingkat pencahayaan disediakan. Dengan
memfokuskan angker pada langit-langit di atas area kerja, ini tercapai. Meskipun
tetap memenuhi persyaratan praktis ruang, intensitas pencahayaan tidak boleh
berlebihan.
3. Sistem Pencahayaan gabungan
Sistem ini dapat
dicapai debgab system pencahyaan setempat pada system pencahyaan merata.
2.2
Faktor Pencahayaan Alami
Menurut
Lechner (2009), daylight factor (DF) merupakan rasio iluminasi pencahayaan di
dalam dan luar ruangan pada saat kondisi langit mendung (overcast) yang
dinyatakan dalam satuan persentase. Daylight factor juga dapat dijadikan
sebagai indikasi terhadap efektivitas desain terhadap kondisi pencahayaan alami
di dalam ruangan pada saat siang hari. Menurut SNI 03-2396- 2001 (2001), ada
beberapa faktor komponen yang harus diperhatikan terhadap pencahayaan alami,
diantaranya sebagai berikut:
a.
Komponen langit (faktor
langit)
Komponen
langit merupakan pencahayaan yang langsung dari langit
b.
Komponen refleksi luar
(faktor refleksi luar)
Komponen
refleksi luar merupakan komponen pencahayaan yang diakibatkan oleh pantulan
objek pada sekeliling bangunan.
c.
Komponen refleksi dalam
(faktor refleksi dalam)
Komponen
refleksi dalam merupakan komponen pencahayaan yang diakibatkan oleh pantulan objek
dalam sebuah ruangan. Daylight factor biasanya diukur pada bidang kerja dengan
ketinggian 0,7 – 0,8 m di atas lantai. Semakin tinggi DF, maka semakin banyak
cahaya matahari yang tersedia di dalam ruangan. DF yang memiliki rata-rata 5%,
maka ruangan akan terlihat sangat terang dan kemungkinan besar kebutuhan
pencahayaan buatan tidak dibutuhkan
2.3
Kondisi Langit
Menurut
Ander dalam Masruchin, F, B. (2016), kondisi langit yang menggambarkan tingkat
iluminasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a.
Clear Sky
Clear
sky adalah kondisi dimana kubah langit tidak lebih dari 30% terhalang awan
dengan kondisi langit paling terang dibandingkan yang lainnya dan cahaya lebih
terang di horizon daripada di zenith. Pada literatur lain, clear sky di iklim
tropis dapat mencapai 100 klux atau 100.000 lux.
b. Cloudy
Sky
Cloudy
sky merupakan kondisi langit paling redup dengan 30-80% langit tertutup
awan.Variasi luminasi suatu area dapat berubah dengan cepat akibat adanya
pergerakan awan.
c. Overcast
Sky
Overcast
sky merupakan kondisi langit yang umumnya bersifat seragam dengan cahaya lebih
kuat tiga kali lebih terang di zenith (titik di angkasa yang berada langsung di
atas kepala pengamat) daripada horizon. Tingkat iluminasi overcast sky
terkadang bervariasi dimana tergantung dari tingkat kepadatan awan dan
ketinggian matahari. Kuat pencahayaan yang dihasilkan oleh kondisi langit
overcast dapat mencapai 5000-20.000 lux. Pada penelitian ini, objek penelitian
berada pada daerah beriklim tropis lembab yang secara umum memiliki kondisi
langit overcast dengan cloud
cover
b antara 60-90% dengan nilai iluminasi langit mencapai 10.000 lux.
2.4 Standar Iluminasi Ruang Museum
- Tingkat
pencahayaan.
Tingkat
pencahayaan yang dianjurkan untuk ruang museum berkisar antara 150 hingga 300
lux. Namun, untuk karya seni yang sensitif terhadap cahaya, seperti lukisan
tua, ukiran kayu, atau tekstil, tingkat pencahayaan yang lebih rendah mungkin lebih
sesuai.
- Pengaturan
Jendela
Jendela atau pintu kaca
yang ada di museum rumah adat cukup besar dan memadai untuk memungkinkan cahaya
alami masuk secara optimal. Jika memungkinkan, pertimbangkan untuk menggunakan
bahan kaca transparan atau bahan lain yang dapat menyerap radiasi ultraviolet
(UV) yang merusak.
- Distribusi
Cahaya
Perhatikan
penyebaran cahaya alami di seluruh ruang museum. Jangan biarkan ada area yang
terlalu terang atau terlalu gelap. Penggunaan reflektor atau cermin cahaya
dapat membantu memantulkan cahaya ke area yang kurang terjangkau oleh cahaya
alami.
- Pemantulan
Cahaya
Pilih
material lantai, dinding, dan langit-langit yang dapat memantulkan cahaya alami
dengan baik. Dengan memilih warna dan bahan yang cerah dan reflektif, Anda
dapat meningkatkan distribusi cahaya di seluruh ruangan.
- Pengendalian
Cahaya Buatan
Selain
pencahayaan alami, Anda mungkin perlu menggunakan pencahayaan buatan untuk
mengisi area yang kurang terjangkau oleh cahaya alami atau untuk menciptakan
efek pencahayaan yang khusus. Pastikan pencahayaan buatan yang digunakan memperhatikan
karakteristik artefak dan tidak merusaknya..
2.5 Museum
Museum
adalah tempat di mana artefak budaya, sejarah, seni, atau ilmiah dilestarikan,
dipelajari, dan ditampilkan untuk masyarakat umum. Benda-benda dengan
kepentingan sejarah, arkeologi, artistik, atau ilmiah sering ditemukan di
museum. Fungsi
utama museum adalah untuk melayani sebagai gudang warisan budaya dan catatan
sejarah manusia. Selain itu, museum sangat penting untuk penelitian,
pengajaran, dan pameran publik. Pengunjung mendapatkan kesempatan untuk belajar
tentang berbagai mata pelajaran, memahami perkembangan manusia dan peradaban,
dan mengagumi seni dan karya kreatif.
Sejarah alam,
seni rupa, sejarah manusia, sains, teknologi, etnografi, arkeologi, dan mata
pelajaran lainnya hanyalah beberapa spesialisasi yang dapat dikejar museum.
Beberapa museum memiliki koleksi yang sangat besar, sementara yang lain berkonsentrasi
pada aspek tertentu dari suatu subjek.
Selain
itu, museum dapat mengakomodasi acara-acara unik seperti konferensi, lokakarya,
pameran sementara, atau pertunjukan artistik. Mereka juga dapat menawarkan
layanan pendidikan termasuk kursus pelatihan, kunjungan, dan kesempatan belajar
lainnya. Tujuan
utama museum adalah untuk membuat pengetahuan dan warisan budaya dapat diakses
oleh masyarakat umum dan untuk mempromosikan pemikiran kritis, penghargaan, dan
pemahaman tentang semua aspek kehidupan manusia.
2.6 Museum
Rumah Aceh Kota Lhokseumwe
Museum kota
lhokseumawe dibangun pada tahun 2014 di kelola Oleh Bidang Kebudayaan yang
waktu itu ada di bawah Dinas Perhubungan, Pariwisata Dan Kebudayaan Kota
Lhokseumawe. Pada tahun 2017 Bidang Kebudayaan Bergabung Dengan Dina Pendidikan
Dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe, dan Museum Kota Lhokseumawe juga secara
otomatis pengelolaannya ada pada dinas pendidikan dan kebudayaan kota lhokseumawe.
Museum Kota Lhokseumawe
diresmikan oleh Bapak Suadi Yahya selaku Walikota Lhokseumawe pada hari Jum’at
Tanggal 18 Oktober 2019, dan merupakan awal mulainya sejarah baru untuk Bidang
Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe dalam menata
pengelolaan koleksi benda sejarah ada di Kota Lhokseumawe.
Museum
Kota Lhokseumawe berada di lahan seluas 6163 m2 dan berfungsi sebagai tempat
memajang benda bersejarah khas Aceh, kepada masyarakat umum. Dengan luas
bangunan 300 m2. Arsitektur tradisional Rumoh Aceh inilah yang mendefinisikan
gaya arsitektur rumah panggung baik material, struktur bentuk bangunan,
ornamen, dan orientasi bangunan semuanya sama persis dengan yang digunakan pada
museum. Oleh karenanya, jika strukturnya adalah museum, ia tidak memiliki fitur
khas dan menciptakan ketidak pastian mengenai bentuk struktur.
Museum
Kota Lhokseumawe terdiri dari 2 lantai sesuai konsep rumah panggung yang
masing-masing lantai memiliki luas 150 m2. Elemen arsitektur hamper keseluruhannya
menggunakan material kayu dari kolom, balok, lantai dinding serta kuda-kuda
atap. Namun pada kolom Rumah bermaterialkan Keramik juga menggunakan daun
rumbia sebagai material atapnya.
2.6.1 Klasifikasi Ruang
Museum Rumoh Aceh terbagi
atas dua fasilitas ruang yaitu ruang pameran dalam dan ruang pameran luar.
Bangunan Rumoh Aceh merupakan ruang pameran inti, memiliki enam ruang pamer
yang menjadi tempat menyimpan, serta
memajang koleksi benda bersejarah Aceh.
Ruang
pamer luar terdiri dari 5 objek pamer. Kemudian terdapat fasilitas pendukung
seperti taman, area parker, panggung, dan juga area bermain anak.
Penulis : Annisa Yumaira
0 Response to "Cahaya Nur Sebuah Kebutuhan"
Post a Comment