Rumah Seribu Jendela
Rumah seribu jandela (baca; tingkap) hanyalah sebuah cerita ilusi dan ilustrasi belaka. Tulisan ini hanya untuk sekedar intropeksi atau renungan untuk dapat mengambil iktibar bagi diri sendiri dan orang-orang tersayang serta tidak ada interes dengan pihak atau kalangan manapun. Dan tidak ada pula korelasinya dengan Bangunanan Lawang Sewu yaitu bangunan dengan seribu pintu, yang merupakan gedung bersejarah peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang terletak di Simpang Lima pusat Kota Semarang.
Bangunanan Lawang Sewu |
Rumah Seribu Jendela
Namun, cerita tentang rumah seribu jendela ini, hanya sekedar mengilustrasikan situasi dan kondisi kekinian tentang sebuah tempat yang merupakan kawasan domisili atau tempat hunian orang-orang (masyarakat), boleh jadi sebagai sebuah "rumah" atau perkampungan ataupun sebuah kawasan pemukiman yang lebih luas.
Kembali kepada topik, dimana bila kita peka dengan situasi dan kondisi (sikonsi) rumah kita dewasa ini dalam keadaan tidak seperti biasanya. Mungkin karena terlalu banyak jendela (tingkap) sehingga dimalam hari ada jendela yang lupa tertutup rapat. Sehingga dengan mudah masuk dan bersarangnya berbagai kuman dan binatang seperti virus corona desease (covid-19), nyamuk, kecoa, laba-laba, tikus dan kelelawar serta bermacam binatang liar lainnya.
Bila kita peka dengan indra penciuman sepertinya di rumah kita sedang ada aroma yang tidak biasa menyengat seantaro rumah. Hembusan aroma itu bisa saja bersuber dari dalam rumah atau mungkin juga dari luar rumah akibat tiupan angin kencang yang dapat menyingkap sebagian jendela (tingkap) rumah.
Bila kita peka dengan indra perasa, sepertinya di rumah kita juga sedang ada kondisi dan situasi yang tidak biasa. Seperti sedang ada kekuatan tersembunyi (gaib) yang mempengaruhi dan menguasai pemilik rumah serta seluruh penghuninya.
Mereka menggunakan strategi licik dengan kekuatan besar dan tersembunyi untuk mengelabui pemilik dan bermaksud mengusai seluruh energi dan kekayaan serta sumberdaya (resource) yang kita miliki.
Mereka mempunyai rentang kendali serta memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, sehingga bukan hanya saja mampu mempengaruhi kondisi "Bapak" kita sebagai pemilik rumah, tapi mereka juga mampu menguasai rumah dan semua penghuninya beserta segala resource yang trsedia.
"Bapak" kita terlena dengan bujukan Loan (pinjaman lunak) dari Bank titil yang sengaja dijajakan mereka dengan dalih bantuan. Dalih untuk membantu pembangunan infrastruktur seperti jalan bebas hambatan yang merupakan untuk memenuhi hajat segelintir dari kita, serta untuk dalih pembangunan lainnya seperti dapur (selera), sumur (kenikmatan) dan pengadaan kasur (kehangatan) sebagai sarana menggapai mimpi indah menjelang tidur.
Sebagai penghuni rumah lainnya, banyak yang tidak mengerti dengan kondisi dan tragedi demi tragedi yang menimpa "kediaman" kita dan seisinya. Kita seperti sedang terhipnotis dan terngiang dengan angan-angan semu menuju "rumah" mewah maju dan tinggal landas pada tahun 2045.
Lain hanya dengan sikap "Ibu" kita sangat disibukkan dengan pohon sejenis keladi yang dijuluki si "janda bolong" yang lagi ngetren sekarang. Mereka dengan mudahnya menghabiskan belasan atau puluhan juta rupiah demi untuk mendapatkan tanaman hias dambaannya. Mereka lupa kalau masih ada saudara atau tetangga kita yang hidup dalam keadaan tidak berkecukupan.
Disisi lain kita juga sering mengabaikan lingkungan sebagai anugerah Allah bukan hanya kepada kita ummat manusia, tapi juga kepada seluruh makhluk penghuni jagat ini. Keserakahan dalam memanfaatkan sumberdaya (resource) tanpa mau peduli kelestarian ekosistem. Laut kita kuras dengan illegal fishing, hutan kita dimusnah dengan illegal loging, carbon kita dijamah dengan Illegal mining. Sampah plastik (kertas kresek, gelas/cup air meneral, pipet plastik, pampers dan softex serta puntung rokok filter) bertebaran menutupi permukaan bumi dan memenuhi aliran sungai dan lautan. Itu semua akan menjadi ancaman kerusakan dan kepunahan bagi kelangsungan ekosistem bumi dan kehidupan manusia.
Pandemi covid 19 adalah momok yang sangat menakutkan, dan menghantam seluruh sendi kehidupan sosial dan perekonomian. Akibat covid pertumbuhan ekonomi kita mengalami stagnan dan malah terjadi kontraksi dimana ditaksir pertumbuhan minus (-3,4%), karena akibat neraca perdagangan tidak surplus, karena semua kebutuhan harus didatangkan (beli) dari tetangga sebelah.
Sementara anak muda kita sibuk dengan urusannya sendiri luar rumah, dengan fasilitas smartphone atau gedget canggih yang dimilikinya, mereka telah menghabiskan waktunya di warung kopi yang didukung "full wifi connection access". Dengan fasilitas tersebut mereka mampu menjelajah se-antaro bumi yang terkadang tanpa ada manfaat yang berarti baik untuk orang lain dan untuk dirinya sendiri, bahkan terlena dan lupa dengan kondisi yang sedang terjadi.
Tanpa sadar mereka telah larut dengan tabiat atau kebiasaan yang cendrung tidak baik, malah dapat merusak diri dan masa depannya sendiri. Seperti menyia-nyiakan waktu hingga larut malam, merokok dan malah yang lagi ngetren sekarang adalah permainan "game online" yang disinyalir ada unsur perjudian.
Mereka lupa bahwa kita adalah bangsa perokok tertinggi di jagad ini. Dan tidak pula menyadari bahwa merokok bukan hanya berbahaya bagi kesehatan, tapi mereka tidak menyadari bahwa pengeluaran rokok, menjadi komoditas penyumbang terbesar pada kemiskinan
Rumah Seribu Jendela
Ironisnya lagi, konsumsi rokok di "rumah" kita, presentase tertinggi dilakukan oleh saudara kita dari kelompok masyarakat yang berpendapatan relatif rendah, seperti nelayan, petani dan kaum buruh.
Asumsinya, andai saja setiap kita mengkonsumsi rokok rata-rata 2 bungkus per hari dengan harga Rp 25.000/bungkus. Maka dapat dihitung belanja keubutuhan rokok adalah :
1 orang × 2 bks × Rp 25.000.-
Maka hasilnya sebagai berikut :
Rp. 50.000 per Hari
Rp. 1.500.000 per Bulan
Rp. 18.000.000 per Tahun
Andai saja uang sebanyak itu bila dikonfersikan dengan beras maka setara dengan 1,8 ton beras, yang dapat memenuhi kebutuhan dan hajat hidup (konsumsi) 200 jiwa lebih anak yatim atau fakir miskin selama sebulan.
Dan bila kita asumsikan, 50% saja dari peghuni "rumah" kita adalah perokok dan setiap orang menghabiskan rata-rata 2 bungkus rokok per hari dengan harga per bungkus Rp 20.000.-
Maka dapat diasumsikan uang yang dihabiskan untuk keperluan yang sia-sia adalah sebagai berkut :
50% × 285.000.000 × 2 bks × Rp.20.000.-
Maka hasilnya adalah sebagai berikut :
Per Hari Rp. 5,7 T
Per Bulan Rp. 171 T
Per TahunRp. 2.052 T
Angka yang sangat spectakuler tentunya, dan nilai yang melapaui dari APBN Tahun 2021 (Rp.1743.6T). Dan uang sebesar ini merupakan kontribusi atau sumbangan dari kita masyarakat miskin kepada orang kaya. Ironis bukan...?
0 Response to "Rumah Seribu Jendela"
Post a Comment