Ijinkan Aku Pergi (Cerpen)

Ijinkan Aku Pergi

Ijinkan Aku Pergi

Angin laut Pulau Weh berhembus lembut sore itu. Cahaya matahari mulai redup, meninggalkan jejak keemasan di permukaan Samudra Hindia. Dari tepi pantai Iboih, Pak Haris, seorang pegawai negeri sipil, duduk bersandar di bawah pohon kelapa. Wajahnya teduh namun menyimpan kerikil-kerikil pilu yang tak seorang pun tahu. Di sampingnya, seorang gadis muda bernama Aulia, mahasiswi, menatap cakrawala dengan tatapan sendu.

Pertemuan Tak Disangka

Pertemuan mereka bermula di masjid kampus tempat Aulia menimba ilmu. Saat itu, Pak Haris menjadi pemateri kajian singkat tentang etika bekerja dalam Islam. Aulia yang aktif di organisasi kampus, menjadi panitia acara tersebut. Dari situlah kedekatan mereka terjalin—bukan karena asmara yang menggebu, melainkan lantaran rasa hormat, ilmu, dan perhatian yang perlahan tumbuh.

Pak Haris sudah berkeluarga. Istrinya, Ibu Salmah, adalah seorang guru madrasah. Mereka hidup sederhana dengan dua anak yang sudah beranjak dewasa dan bekerja di Banda Aceh. Namun, dalam kesehariannya, Pak Haris sering merasa sepi. Kesibukan dan jarak membuat rumah kadang terasa sunyi.

Perasaan yang Sulit Dijelaskan

Aulia, dengan kepolosannya, sering datang untuk berdiskusi soal kuliah, tugas dakwah kampus, bahkan hal-hal kecil tentang kehidupan. Dari situ, Pak Haris menemukan kembali semangat mudanya. Aulia seperti putrinya sendiri, tapi di sisi lain, ada rasa yang sulit ia definisikan. Hatinya bergetar, meski akalnya berusaha menahan.

Aulia sendiri tidak menaruh curiga. Ia menghormati Pak Haris sebagaimana seorang ayah atau guru. Namun, hatinya peka. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda dari sorot mata lelaki paruh baya itu ketika mereka berbicara.

Keputusan yang Berat

Suatu sore, di tepi Pantai Sabang, Pak Haris akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Aulia, andai perasaan ini hanya bisa kusimpan, biarlah begitu. Tapi aku harus jujur pada diriku sendiri. Aku menyayangimu, lebih dari sekadar seorang ayah kepada anaknya," ucapnya lirih.

Aulia terdiam. Air matanya menetes. Ia tidak marah, tidak pula menolak dengan kasar. Ia justru merasakan betapa tulusnya lelaki yang duduk di sampingnya itu. Namun, ia sadar betul akan batas syariat. "Pak Haris, aku menghormati Bapak. Tapi izinkan aku berkata, jalan kita berbeda. Aku ingin melanjutkan kuliahku, dan Bapak punya keluarga yang harus Bapak jaga."

Selamat Tinggal

Pak Haris menunduk, menahan gejolak di dadanya. Lirik lagu yang sering ia dengar seakan berputar di kepalanya: “Ijinkan aku pergi, apalagi yang engkau tangisi…”. Ia tahu, ia harus merelakan. "Aulia, selamat tinggal. Aku hanya ingin kau bahagia, siapa pun pendampingmu nanti. Jangan lupa kirimkan kabar bila engkau butuh doa," katanya dengan suara bergetar.

Aulia menatapnya dengan penuh rasa hormat. "Terima kasih, Pak. Doakan aku agar tetap dalam jalan Allah. Semoga Bapak dan keluarga selalu diberkahi," jawabnya pelan.

Ikhlas dan Doa

Hari-hari berikutnya, Pak Haris mencoba mengalihkan hatinya. Ia kembali fokus pada pekerjaannya sebagai PNS di kantor pemerintahan Sabang. Ia lebih sering membantu kegiatan dakwah bersama istrinya. Dalam doa-doa malamnya, ia menyebut nama Aulia, bukan sebagai kekasih yang hilang, tetapi sebagai seorang anak muda yang ia titipkan pada Allah.

Aulia pun meneruskan studinya dengan tekun. Ia mengingat pesan Pak Haris untuk selalu menjaga hati dan memperjuangkan masa depan dengan iman. Dalam setiap langkahnya, ia merasa doa seorang guru, seorang ayah, seorang sahabat tua selalu menyertainya.

Akhir yang Mengajarkan Ikhlas

Waktu terus berjalan. Pulau Sabang tetap menjadi saksi bisu dari kisah yang tak pernah mereka ungkapkan lebih jauh. Meski cinta itu tak bisa bersatu, doa dan ketulusan membuat keduanya tetap terikat—bukan oleh nafsu, melainkan oleh kasih sayang yang dibingkai iman.

Pak Haris belajar bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki. Aulia belajar bahwa menjaga hati adalah bagian dari menjaga iman. Dan laut biru Sabang, yang selalu bergemuruh di bawah langit Aceh, menjadi saksi bahwa cinta sejati adalah cinta yang mampu merelakan.

janvanhoess.blogspot.com

0 Response to "Ijinkan Aku Pergi (Cerpen)"